Quantcast
Channel: Mama, Dudu and Their Everyday Adventure
Viewing all 269 articles
Browse latest View live

Karaoke Bersama Mama di Alegro Epicentrum

$
0
0
Apa jadinya kalau Mama dan Dudu pergi karaoke? Well, buat Dudu yang pertama kali menyanyi dengan microphone sambil membaca teks, hal ini ternyata menyenangkan. Ini ceritanya:
“Minggu lalu aku pergi karaoke bersama mama , Sheva , Bio dan Tante Wieny. Kita pergi ke tempat karaoke selama dua jam. Kita nyanyi Let It Go,Super Junior,Waka Waka,You’re My Flashlight, Im in Love with A Monster, I’m Worth It dan lain lagi. Kita bersenang senang sampai dua jam. Karena bersenang-senang jadi dua jamnya tidak terasa. Kami pergi karaoke di Epicentrum."



Yes Allegro Epicentrum yang judulnya family karaoke. Berlima dengan anak kecil ternyata masih diperbolehkan menggunakan ruangan yang small (biasanya untuk 4 orang dewasa). Dan karena itu hari Kamis, meskipun akhir tahun, maka masih kena harga weekdays. 2 jam sekitar Rp100,000. Tempat karaoke yang milik Maia Estianty ini bersih dan nyaman. Peralatannya canggih dan memilih lagunya sudah menggunakan iPad. Setelah kita masuk ruangan, petugasnya akan menunjukkan cara untuk memilih lagu. Batre iPadnya habis setelah sekitar 1 jam 30 menit, jadi kita buru-buru memanggil petugasnya (ada tombolnya di iPad meski kita sempat cari-cari juga haha) dan mendapatkan yang baru.

Koleksi lagunya cukup lengkap. Mau dangdut, India, Indonesia ataupun lagu barat. Lagu Asia memang tidak banyak tapi well, kita karaoke di sini karena mau nyanyi lagu populer. Kalau karaoke Kpop saya beda lagi tempatnya haha. Bahkan ada lagu anak-anak jaman saya kecil seperti “Aku Cinta Rupiah”. Hayo, ngaku, siapa yang pernah hafal lagu itu? 



Jangan tanya kenapa di meja karaoke ada pistol. Namanya juga Dudu
Untuk pengalaman karaoke pertama, meskipun sempat agak bosan karena Dudu bukan orang yang senang menyanyi dan lagu yang dia bisa tidak banyak, Dudu senang. “Mudah, Ma. Tinggal baca teks lalu menyanyi.” Dan beberapa kali dia sungguhan melakukan hal itu. Teksnya benar, nadanya kemana-mana hahaha. Untung teman-teman karaokenya yang jauh lebih mahir menyanyi itu tidak protes. Kalau mentok, bingung mau apa dengan anak, karaoke bisa jadi seru. Soalnya:
  • Anak belajar gantian. Microphone cuma 2 dan kemarin kita ber 5. Jadi muncul peraturan bahwa yang sudah menyanyi harus menyerahkan lagu berikutnya ke orang lain. Tidak boleh pegang microphone 2 lagu berturut-turut.
  • Karaoke juga katanya baik untuk melepas stress dan kita tahu pelajaran sekolah bisa bikin anak stress. 
  • Belajar apresiasi. Sementara saya dan Tante Wieny malas menyalakan score, anak-anak justru lebih kompetitif. Mereka mau melihat seberapa baik mereka bisa menyanyi. Toh, sejelek-jeleknya score, mereka tetap dapat tepuk tangan yang memberikan penghargaan atas usaha mereka. Kalau scorenya jelek, mereka semangat untuk memperbaiki.
  • Tidak ada nilai sempurna (kata Tante Wieny) ketika anak-anak penasaran kok tidak bisa 100. Haha. Ya beginilah hidup. Tidak ada yang tau diukur pakai apa dan nilai itu berdasarkan apa. Soalnya lagu yang sama di tempat karaoke berbeda, saya juga biasanya dapat nilai berbeda.
  • Bonding. Sebelumnya, menyanyi dengan Dudu hanya dilakukan di radio ketika lagu yang diputar adalah lagu yang familiar. Dan karena kita mendengarkan radio hanya di mobil dan satu mobil hanya di akhir pekan, kesempatan ini sangat jarang. Di tempat karaoke, saya kaget juga ternyata menyanyi lagu bersama Dudu (walau cuma dapat 40) menyenangkan. Sekali-kali bebas dari zombie dan Kpop.

Tapi mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kalau karaoke sama anak. Karena karaoke memutarkan video, yang belum tentu video klip lagunya, kadang muncul gambar-gambar yang belum tentu pantas disaksikan anak. Padahal lagunya mereka hafal. Lagu “Can’t Remember to Forget You” milik Shakira dan Rihanna. Lagu Justin Bieber yang “What Do You Mean?” Paling aman sih sebenarnya lagu One Direction.

And we danced all night to the best song ever. 


Our date is at
Alegro f-KTV
Rasuna Epicentrum Epiwalk level FB
Jl. HR. Rasuna Said Media Walk
021-2991 2100/01

Anak Saya Bilingual

$
0
0
Saya sering dapat pertanyaan ini: “Anaknya bisa bahasa Indonesia?” Mungkin karena wajah Andrew yang bule atau ketahuan sekolahnya internasional. Dan biasanya orang terkejut ketika tahu bahwa bahasa ibu Andrew ya Bahasa Indonesia dan sampai lulus TK dia belum bisa bicara Bahasa Inggris. Lalu bagaimana bisa tumbuh dengan 2 bahasa?

Udah ketemu Superman
tapi tidak bisa ngobrol karena kendala bahasa
Ketika melahirkan Dudu di Di Amerika, saya pernah bertanya-tanya bagaimana mempertahankan bahasa Indonesia pada anak saya, sementara semua lingkungannya berbahasa Inggris? Saya mendapatkan jawaban yang saya pegang teguh sampai sekarang. Jadi seorang anak kecil tidak kenal istilah “bahasa”. Yang dia tahu adalah kalau sama Mama bicaranya begini. Kalau sama Miss begini, kalau sama Mbak begini. Dan ajaibnya, cara berbicara itu tidak bercampur. Saya bisa tenang meneruskan berbicara Bahasa Indonesia pada Andrew, jadi Andrew akan bicara Bahasa Indonesia sama saya. Oh, lega.

Bingung bahasa?
Eh, lalu saya pulang ke Indonesia for good. Mendadak, ketika Andrew baru mulai berkata-kata. Lah, jadi terbalik dong. Semuanya berbahasa Indonesia, saya juga berbahasa Indonesia. Terus, Bahasa Inggrisnya bagaimana? Inilah yang memutuskan bahwa Andrew harus masuk sekolah internasional supaya bisa berbahasa Inggris. Sekarang malah ditambah Mandarin.

Waktu TK belajarnya bahasa Indonesia
Seperti nasihat tadi, anak-anak memiliki pemahaman yang aneh tentang bahasa. Kalau Mama pakai Bahasa Indonesia, Miss pakai Bahasa Inggris atau Mbak pakai Bahasa Jawa, ya anak akan menyesuaikan bahasanya dengan orangnya. Jadi tidak perlu khawatir anak bingung bahasa. Barbara Zurer Pearson, pengarang buku Raising a Bilingual Child, menyebutkan hal yang sama, “Bayi dapat secara ajaib membedakan bahasa, terutama bahasa yang terdengar sangat berbeda.” Jadi Inggris, Indonesia dan Mandarin pada saat yang bersamaan bisa dibilang aman.

Apakah kemudian anak jadi terlambat bicara? Well, tidak juga sih. Meskipun ketika semua berubah jadi Bahasa Indonesia, Andrew mendadak cerewet. Haha. Bahasa Inggrisnya yang ketika masuk SD masih terbata-bata juga mendadak lancar dalam hitungan bulan. Sekarang anaknya sudah bisa nonton film tanpa teks, baca subtitle anime Jepang dan selalu pakai Bahasa Inggris kalau sedang main action figure.

Dulu keluarga Papa saya kalau kumpul selalu menggunakan Bahasa Jawa. Sampai sekarang, saya selalu menggunakan Bahasa Jawa jika berbicara dengan mereka. Termasuk waktu liburan ke Singapura sama sepupu saya kemarin itu. Padahal saya tidak pernah belajar, hanya mendengarkan mereka ngobrol saja. Andrew juga akhirnya begitu. Bahasa Inggris dari Miss, Bahasa Indonesia dari... Spongebob Squarepants dan Doraemon yang dia tonton setiap pagi sebelum sekolah. Bahasa Indonesia Andew jadi baku.

Dudu: Ma, temanku bertanya di sekolah, kenapa Bahasa Indonesiaku lancar sekali?
Mama: Loh, memangnya teman-teman kamu tidak bisa Bahasa Indonesia?
Dudu: Tidak bisa.
Mama: Orang tuanya?
Dudu: Aku tidak tahu. Mungkin mereka berbicara bahasa Inggris. Atau Mandarin.



Kalau jalan sama sepupu-sepupu saya ini,
Andrew jadi ikut berbahasa Jawa
Kuncinya konsistensi.
Ketika saya pulang ke Indonesia saya memutuskan tetap berbahasa Indonesia. Jadi Andrew tidak bingung. Marsha Rosenberg menulis dalam majalah alumni The American School in Japan bahwa konsistensi orang tua menggunakan bahasa menjadi kunci penting bagi anak untuk fasih berbahasa asing. Marsha melarang orang tua (dan pengasuh serta guru di sekolah) untuk mencampur bahasa dalam percakapan sehari-hari karena akan membuat anak bingung dan akhirnya berpikir bahwa bahasa yang tercampur baur itu adalah satu bahasa. Hmm... Mungkin seperti Cinta Laura ya? Jika orang tua tidak bilingual, anak dapat mempelajari bahasa kedua di sekolah ataupun di lingkungan tempat dia biasa main.

Satu hal yang perlu dicatat adalah mengajarkan bahasa sedini mungkin karena menurut Marsha kesempatan menjadi fasih dalam dua bahasa atau lebih lebih besar jika anak mengenal bahasa tersebut sebelum menginjak usia remaja. Tapi, buat yang anak-anaknya masih TK dan bahasa Inggris/Indonesianya masih terbata-bata, belum terlambat kok untuk memperlancar bahasa kedua. Coba berikan waktu yang lebih banyak (misalnya di sekolah) untuk menggunakan bahasa kedua itu. Kalau anaknya sudah lewat balita, boleh juga di rumah berubah-ubah bahasa. Saya selalu memarahi Dudu pakai bahasa Inggris. Jadi dia tahu, kalau saya mendadak berbahasa asing, tandanya saya sedang kesal. Haha. Tapi tetap tidak mencampur beberapa bahasa dalam satu kalimat ya.



Acara ini adanya di TV Cable, Du
Dudu: Mama, teman-temanku menonton TV Cable. Apa itu TV Cable?
Mama: Itu lho yang berlangganan tiap bulan... Yang kita selalu menumpang nonton di rumah Tante Diah kalau weekend.
Dudu: Ooh, yang acaranya banyak dan bagus-bagus itu ya? Teman-temanku belajar bahasa Inggris dari menonton TV. Mungkin mereka mengikuti teksnya dan mendengarkan bahasanya?
Mama: Kamu?
Dudu: Aku belajar Bahasa Inggris dari film Zombie.

Yah, salah satu kalimat bahasa Inggris pertama si Dudu sih begini: “My name is Alice and I work for the Umbrella Corporation.” dan “You all going to die down here.” Hayo, ada yang tahu itu dari film apa?

Sekarang ini saya dan Andrew hanya tersenyum kalau ada yang memuji “bahasa Indonesianya pintar ya, dik.” Atau ada yang tertawa ngakak mendengar Andrew berbicara ala dubbing kartun atau film laga lokal. Yang penting Bule Depok ini bilingual.

Miao Mi: A Wonderful Way to Learn Mandarin

$
0
0
Kucing berwarna orange yang telinganya tidak sama besar itu seakan minta dibawa pulang. “Miao Mi,” katanya di salah satu filler yang diputar di acara launching saluran mandarin khusus anak dari Celestial Tiger Entertainment minggu lalu. Duh, coba Dudu bisa ikut. Kan dia sedang belajar bahasa Mandarin.


Acara launching Miao Mi
“Miao Mi diciptakan untuk semua anak, bukan hanya mereka yang bisa berbahasa Mandarin,” jelas Ofanny Choi, Executive Vice Presiden, TV Networks, Celestial Tiger Entertainment, pada saat sambutan launching di Lollipop Lotte Shopping Avenue. “Belajar bahasa Mandarin di masa ini menjadi penting bagi anak-anak karena dapat menjadi bekal bagi mereka yang akan menghadapi dunia di 50 tahun ke depan.” Melanjutkan sambutan Ofanny, Yudha Wibawa, Deputy CEO, PT MNC Skyvision Tbk sebagai pembawa saluran Miao Mi di Indonesia lewat Indovision, menyatakan bahwa sudah bukan zamannya lagi belajar Mandarin untuk menjaga budaya, bahasa dan identitas karena di masa depan, kebutuhan bahasa ini lebih kepada kebutuhan bisnis dan professional. Miao Mi dapat disaksikan di Indovision.

Belajar bahasa dimulai dari hal yang kecil. Apalagi jika tidak ada orang rumah yang bisa bahasa Mandarin. “Lumayan, 20 menit si Jess bisa ingat 2 kata baru,” cerita Melissa Karim, selebritis sekaligus bintang tamu spesial di acara launching itu yang hadir bersama putranya yang fanatik T-Rex. Di Miao Mi, setiap 20 menit sekali memang ada Miao Mi Classroom yang memperkenalkan Mandarin dasar di antara program. Ada beberapa kata-kata baru atau lagu yang dapat dipelajari anak tanpa mereka sadari. Yes. Duduk menanti launching itu, saya juga jadi memperhatikan Miao Mi Classroom dan diam-diam menghafalkan pelafalan “Wo Ai Ni” yang merupakan phrase paling penting itu. 

Melissa Karim (dan Jess)
sedang berbagi pengalaman


Jess, menurut Mama Melissa, bukan anak yang suka nonton TV. Kalau pun nonton, attention spannya belum terlalu panjang dan biasanya tidak betah duduk lama. “Biasanya hanya 2 program lalu break main puzzle,” jelasnya sambil menambahkan kalau kriteria tontonan buat Jess adalah yang memiliki moral issue yang dapat dimengerti anak-anak yang kemampuannya menyerapnya seperti sponge ini. “Di Miao Mi ada beberapa keunggulan seperti karena dibuat oleh orang Asia ya, jadi ada Asian values seperti respect your parents yang dapat dihadirkan untuk anak. Selain itu ada step-step umur yang bisa disesuaikan spesifik untuk anak,” cerita Melissa.

Bellbug Popo mengajarkan tentang lingkungan
Yup, Miao Mi memiliki program yang disesuaikan dengan target umur audience mereka yang 3-6 tahun. Cerita Rubi Yoyo dan Bellbug Popo misalnya ditargetkan untuk anak yang lebih kecil. Bellbug Popo mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan lewat petualangan serangga-serangga yang tinggal di hutan dan kolam. Anak yang sudah bukan balita bisa menyaksikan Pleasant Goat & Big Big Wolf yang merupakan acara TV yang telah memenangkan banyak penghargaan dan telah hadir di lebih dari 40 saluran TV lokal di Asia. Serial in menceritakan pertarungan para domba dengan serigala ceroboh. Selain itu, Miao Mi juga memiliki serial seperti Star Babies, Happy Friends dan Little Rabbit’s Kung Fu Academy. Semua program ini juga sudah disulih suarakan ke dalam Bahasa Indonesia dan kita dapat memilih, bahasa mana yang hendak kita gunakan.
Little Rabbit’s Kung Fu Academy
(atas ke bawah) Star Babies, Pleasant Goat & Big Big Wolf dan Happy Friends 
Siapa bilang anak yang sudah lewat 6 tahun tidak bisa belajar dari Miao Mi? Memang si Dudu sudah kelas 4 SD, tapi kemampuannya berbahasa Mandarin masih setara dengan apa yang diajarkan para karakter Little Rabbit’s Kung Fu Academy, Rubi Yoyo, dan Fox Inventor. Jadi jangan keburu kecewa jika anak Anda sudah terlanjur di usia SD.

Dan ketika saya bawa pulang (cerita acara tadi plus sumpit, stiker bahasa dan map), Dudu super excited. “Mama, ini sumpit yang tidak bisa lepas. Aku harus segera berlatih.” Menggunakan stiker sebagai alas dan mainannya sebagai bahan yang harus diseberangkan dari satu alas ke alas lain, Dudu mendadak sibuk. Sambil memindahkan mainan sambil membaca apa yang tertulis di stikernya. 



Let me end this post with a tip from Ofanny on how to make the most of Miao Mi programs: dampingi anak ketika nonton. Selain menjadi bonding, terutama pada akhir pekan, orang tua yang tidak bisa berbahasa Mandarin juga dapat belajar bersama. Jadi tahu apa yang dipelajari anak, dan anak juga merasa bahwa orang tuanya perduli dengan apa yang dia pelajari. I couldn't agree more.

Dan kata “Miao Mi” yang diucapkan si kucing masih tetap nempel di kepala.

Investasi Tulang Sehat Dimulai dari Sekarang

$
0
0
Dalam suatu sesi tanya jawab saya bertanya begini: “Mba, kalau kopi menghambat penyerapan kalsium, apa kabar saya yang ngopi 3-4 gelas sehari dan tidak suka sayur dari SMP? Boleh itu supplemen kalsiumnya diminum banyakan atau 1 tablet sudah maksimum?” Dan kayaknya seluruh ruangan memandangi saya.

Talkshow Investasi Tulang Sehat besama The Urban Mama dan Protecal 
(photo by Dudu)
Lalu saya ditimpuk pembaca yang stress sambil ngomel “kurangin dong kopinya,” atau kesal ala Mama saya “masa sudah tua begini masi tidak suka sayur sih?”


Kopi, sejak saya kuliah, sudah menjadi sahabat terbaik saya. Dan di saat yang sama saya kehilangan kebiasaan minum air yang tidak berasa, karena air keran di Amerika tidak menghilangkan dahaga dan air botolan harganya tidak pas buat kantong mahasiswa. Sepuluh tahun kemudian ketika saya hadir di acara TUM Luncheon bersama Protecal, hasil tes tulang saya memberikan peringatan keras untuk berhenti cuek dan mulai memikirkan masa depan lewat investasi tulang.

Acara yang diadakan di Comma, Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan ini dimulai dengan yoga di Sabtu pagi. Kalau yang namanya yoga, Dudu semangat ikut walaupun sepanjang mengikuti gerakan instruktur kita yang amazing banget itu dia stress karena bolak-balik gagal. Gerakan yoga yang diajarkan masih termasuk yang sederhana namun dapat membantu memperkuat tulang jika dilakukan secara rutin. Selain olahraga, kepadatan tulang juga perlu diinvestasikan lewat makanan seperti ikan (terutama salmon), sayuran (bayam, kale, brokoli) dan duet tahu-tempe. Setelah olahraga, kita semua duduk santai sambil mendengarkan penjelasan Mba Emi dari Protecal tentang pentingnya investasi tulang sehat untuk masa depan. 

Ada 3 jenis Protecal: Osteo, Defense dan Solid (photo by Dudu)
Kenapa menjaga kesehatan tulang harus dimulai sekarang? Puncak massa tulang ada di usia 30 tahun. Seringkali kita, terutama perempuan, kerap mengkhawatirkan tulang ketika sudah mendekati atau bahkan sudah mengalami menopause. Mama saya contohnya. Setelah menopause baru mulai mencari asupan kalsium tambahan. Padahal, investasi kalsium harusnya sudah dilakukan sebelum usia 30 tahun. Yah, kurang lebih sama dengan investasi pendidikan anak yang dimulai ketika anak baru lahir. Soalnya, tidak seperti biaya sekolah yang masih bisa diprediksi, osteoporosis biasanya datang tanpa pemberitahuan dan tanpa gejala ataupun rasa sakit.Jadi ya tidak ada salahnya minum tambahan asupan kalsium.

Protecal solid hadir dalam bentuk tablet effervescent yang larut ke dalam air sehingga mudah diserap tubuh. Sebagian besar dari kita tentunya sudah familiar dengan jenis supplemen ini, namun ada beberapa tips dari Mba Emi (yang ternyata seorang apoteker ini) tentang penggunaan tablet ini. Tablet utuh tidak boleh dipecah karena akan merusak komposisinya. Jika ingin meminumkan setengah dosis pada anak-anak misalnya, tablet harus dilarutkan dulu ke dalam air baru kemudan setengah gelas diberikan pada anak. Selain itu, tablet yang sudah dilarutkan sebaiknya langsung dikonsumsi. Jika Anda menyukai yang dingin, larutkan tablet dengan air dingin. Jangan simpan larutan di kulkas. Simpan tablet pada suhu ruangan dan jangan terkena sinar matahari langsung karena akan menghilangkan khasiat anti-oksidannya. 
Ini cara melarutkan tablet effervescent Protecal
Gara-gara bertanya kopi saya dapat hadiah 

Oh iya, menjawab pertanyaan saya di atas, Mba Emi menganjurkan mengkonsumsi 2 tablet Protecal Solid atau cukup 1 Protecal Osteo dalam sehari. 1 tablet sehari untuk yang hasil tes tulangnya normal atau masih di area osteopenia cukup untuk memenuhi kebutuhan rata-rata kalsium orang dewasa Asia yaitu 1000mg/hari. Selain mengandung kasium, Protecal Solid juga mengandung Vitamin D, Vitamin B16 dan Viamin C untuk mengoptimalkan penyerapan kalsium, memberikan nutrisi dan menjaga daya tahan tubuh. Yang bikin lega, Protecal Solid bebas gula. 

Ini penampakan Protecal solid yang sedang saya minum
Saya mungkin agak terlambat, tapi Dudu masih bisa memulai investasi. Meskipun dia laki-laki, tapi bukan berarti bebas osteoporosis di masa tua kelak kan. Apalagi dia tipe yang hidup jauh lebih sehat dari saya. Banyak minum air putih dan rajin minum susu. Belum terlambat ya untuk menambahkan investasi tulang ke dalam list resolusi 2016 saya. Lebih baik mencegah daripada mengobati kan? Ada 2 hal yang bisa diterapkan bersama anak untuk resolusi investasi tulang ini:
  • Mencoba hal baru. Gara-gara acara ini si Dudu jadi makan brokoli. “Ternyata rasanya tidak sepeti yang aku bayangkan. Aku kira ini akan kriuk. Ternyata tidak terlalu buruk juga,” katanya setelah mencoba suapan pertama.
  • Berolahraga dan bergerak bersama. Kalau malas exercise sendirian, kita bisa mengambil kelas yoga bersama anak, atau mengajak anak lari pagi. Bisa juga kita menemani dia bersepeda keliling komplek atau berenang bersama.
Akhirnya bisa Yoga bareng lagi
di acara #TUMLuncheon kemarin.



Thanks to TUM dan Protecal, si Dudu rajin membuatkan saya (dan oma-nya) segelas Protecal. Dengan pesan cinta gombal: “Aku akan melakukan apa saja untuk Mama supaya sehat.” Well, kemarin karena habis dipuji berhasil bikin sop, dia mau memasak makanan sehat rendah kalori supaya saya bisa diet. Tapi kita fokus di Protecal dulu aja ya, Du.

16 Jam di Gajayana

$
0
0
Ketika mengiyakan ajakan teman untuk naik kereta ke Malang, saya sebenarnya sedang impulse buying. Alias nekat beli tanpa mikir. Untungnya, 16 jam perjalanan Jakarta-Malang bukan seperti baju mahal yang sampai rumah kita sesali. It’s one fun, unforgettable adventure.


Seminggu sebelum berangkat, teman saya bertanya “16 jam di kereta, anak-anak mau disuruh ngapain ya?” Jujur, saya juga blank. Gadget juga ada batasnya kan. Apalagi si Dudu yang kalau sudah bosan, gadget juga bisa diabaikan begitu saja. Dan itu awal dari serentetan pertanyaan berikutnya seperti “Makan malam dan makan pagi gimana ya?” Nah lho. Saya juga belum pernah deh naik kereta selama itu.
Kami berkumpul di Stasiun Gambir jam 5 sore. Tiket yang sudah dipesan lewat online harus diprint kembali di stasiun. Karena perjalanan kali ini menggunakan travel agent, maka rombongan kami tinggal masuk dan naik kereta. Mirip dengan pesawat, kami harus mencari peron yang tepat dan masuk ke gerbong yang tepat. KA Gajayana tujuan Malang. Jangan sampai salah naik kereta nih, karena kereta yang lewat belum tentu kereta kita. Sedikit lebih rumit dari pesawat yang kalau kita sudah di gate yang benar maka kita pasti naik pesawat yang benar juga.

Lalu 16 jam di kereta ngapain? “Bisa jalan-jalan di dalam keretanya, bisa main dan bisa seru-seruan. Bisa main karena kita punya waktu lama sekali untuk bersama teman-temanku,” jawab Dudu enteng. Berangkatnya lebih mudah karena tinggal beli makan malam di stasiun. Berangkat jam 17.45 dari Gambir. Makan malam, lalu selepas itu (sekitar Cirebon) kita tidur. Bangun pagi sudah dekat Kediri dan jam 9.30an kita sampai di Malang. Pulangnya lebih rumit. Berangkat siang jam 13.30 dan masih banyak waktu tersisa sebelum jam tidur di Jogja. Sampai Gambir jam 4 subuh. Sedihnya, waktu kita ada di Museum Angkut, ada perbandingan bahwa durasi 16 jam KA Gajayana (yang di museum itu disebutkan 11 jam), dapat ditempuh dalam waktu 2 jam oleh Shinkansen. 




Ketika dalam perjalanan menuju Cirebon, Dudu yang sibuk melihat keluar jendela mendadak berseru, “Wah, macet sekali itu... Eh, itu gara-gara kita lewat ya, Ma?” Yes, yang dilihatnya adalah antrian di palang pintu kereta.

Kenapa pilih kereta?
  • Tempat duduk seperti pesawat dengan legroom yang jauh lebih lega. Kali ini beneran bisa meluruskan kaki. Buat yang pegal, mondar-mandir juga membantu. Aislenya juga lega dan panjang. Buat anak-anak lebih enak karena bisa jalan bolak-balik. 
  • Jangan khawatir kelaparan atau kehausan jika lupa bawa bekal. Ada banyak pramugari penjaja makanan dan minuman yang selalu lewat pada jam makan. Sayangnya tidak ada kopi hitam tanpa gula yang jadi kesukaan saya.
  • Pemandangan lebih indah. Dudu yang senang road trip jadi tidak kangen dengan sawah, jurang dan jembatan. Perjalanan ke Malang melewati banyak sungai, sawah dan pemandangan indah lainnya.
  • Karena naiknya eksekutif, kita dapat bantal, selimut dan kursi yang bisa diputar-putar. Rombongan saya yang terdiri dari 4 orang anak itu seperti dapat tempat bermain sendiri dengan kursi yang berhadapan.
  • Sama dengan pesawat, KA Gajayana ini bebas rokok. Yang mau merokok hanya boleh pas kereta berhenti dan itupun harus turun ke peron. 


Most memorable moment sudah pasti Jakarta - Cirebon karena melihat gedung tinggi berlalu dan perlahan tergantikan oleh rumah yang lebih rendah dan akhirnya hilang sama sekali menjadi sawah. Tidak pernah bosan jika melihat ke jendela. Ketika mendekati Stasiun Malang Kota Lama (atau Kepanjen ya?), keretanya berjalan melewati terowongan, lalu miring-miring diantara perbukitan dan jurang. Kalau kata Dudu seperti adventure di game. Haha. 

Jadi kalau anak kecil mau naik kereta, apa yang harus disiapkan, Du?
“Makanan, minuman karena perjalanannya lama. Bagi yang mabuk, jangan lupa untuk siapkan kantung plastik. Bawa mainan action figure.”

Kalau bicara harga, agak sulit juga karena saya sudah beli tiket ini sejak bulan November. Menurut teman-teman yang sering mudik pakai kereta sih, harga kereta itu makin dekat tanggalnya makin mahal. Beda dengan pesawat yang suka ada promo last minute, kalau kereta memang sebaiknya dibeli sejauh-jauh mungkin dari tanggal keberangkatan.

Bagian dalam gerbong yang berbeda (atas) Kereta pulang gerbong 8,
 (bawah) kereta berangkat gerbong 3 

Perjalanan kereta kali ini meninggalkan rasa penasaran dengan sistem tempat duduk. Dari dua perjalanan, Jakarta-Malang dan Malang-Jakarta, saya selalu mendapatkan tempat duduk terpisah dengan si Dudu. Dan karena berhenti di tiap stasiun tanpa mengetahui apakah tempat duduk akan terisi sampai stasiun akhir, saya jadi kesulitan mau meminta tukar tempat duduk dengan penumpang lain. Terima kasih ya mba dari Tulungagung yang sudah berbaik hati merelakan tempat duduk windownya diambil Dudu.

Well, anyway, kita sampai di Malang dengan selamat. Tanpa insiden berarti dari anak-anak. Our adventures will continue in Malang. 


(Special Thanks to: Tante Wieny, Om Dimas, Tante Selvi, Om Alam, Tante Linda, Om Bayu, Sheva, Bio, Keisha, Reyhan dan Raka)

Berenang Ketika Hujan, Siapa Takut?

$
0
0
Pertanyaan yang paling sering saya dengar dari Andrew ketika sedang traveling bukan “kapan sampainya?” tapi “Ma, boleh berenang ngga?” Mau di laut, di danau, di waterpark, bahkan ketika kami liburan ke Batu dan Malang baru-baru ini yang ditemani hujan yang tak kunjung reda. 

Kalau sudah berenang ngga bisa dilarang
Masalahnya, kita memang jalan-jalan di musim yang salah. Setelah menempuh 16 jam perjalanan dengan kereta dari Jakarta ke Malang, kita langsung menuju Batu. Sampai di Batu, check in hotel lalu lanjut ke Museum Angkut dan kita semua sukses kehujanan. Hujan yang sudah mengikuti sejak selepas makan siang ternyata tidak mau pergi, dan menemani kita di Museum Angkut yang semi outdoor. Ya sudahlah, sampai hotel kan langsung mandi, keramas dan beres. Tidak juga. Masuk kamar mandi, Andrew langsung keluar lagi. “Ma, si satu tetes mana?”

Eh gawat dong dia ketinggalan. Siapa sih ini?


Si “Satu Tetes” adalah panggilan Dudu untuk sabun barunya, Lifebuoy clini-shield10, yang berbentuk shower gel konsentrat. Bentuknya lebih pekat dari sabun cair biasa jadi memungkinkan hanya menggunakan satu tetes saja pada saat mandi dan tetap mendapatkan perlindungan menyeluruh dari kuman yang terus berinovasi.

Si Satu Tetes kesayangan Dudu
Lha, kalau si satu tetes ketinggalan, berarti saya juga tidak punya sabun. Lupakan sabun batangan yang disiapkan pihak hotel. Jadi, saya langsung menyeberang jalanan kota Batu yang sepi itu ke sebuah mini market dan super happy karena ternyata ada si satu tetes dijual di sana. Hore!

Karena Lifebuoy clini-shield10 ini tidak besar bentuknya, tapi hemat isinya, jadi saya memutuskan untuk sharing sabun saja dengan Dudu biar tidak repot. Toh, jarang - jarang nemu sabun yang cocok dengan kulitnya. Cara pengunaan sabun yang mengandung Active Naturol Shield ini mudah. Cukup satu tetes di ujung jari atau telapak tangan, usapkan ke seluruh tubuh sehingga menghasilkan busa berlimpah. Setelah itu bilas sampai bersih. Baik Dudu maupun saya sama-sama menggunakan satu tetes saja lho. Wanginya juga enak. Saya dan Dudu memfavoritkan yang hijau alias yang fresh.


Ketika kita mampir ke Selecta keesokkan paginya, pertanyan tentang berenang mulai menghantui.

Dudu: Ma, bolehkah kita berenang di sini?
Mama: Tidak bisa, Du, habis ini mau ke Jatim Park.
Dudu: Di Jatim Park bisa berenang?
Mama: Tidak bisa Du, hujan ini kan.
Dudu: Main air deh. Tadi kata om guidenya ada waterpark.
Mama: Hujan, Du.
Dudu: Tapi hujan terus, Ma. Kapan aku bisa berenang?

Masalahnya dengan kolam renang umum, ada banyak kuman di sana. Meskipun kaporit seharusnya membunuh semua kuman di sana, tapi siapa yang bisa menjamin kalau kolam renangnya benar-benar bersih.



Kolam renang Selecta memang menggoda
Dari kecil memang sudah senang berenang
Jadi akhirnya, ketika kami kembali ke Malang untuk menginap sebelum pulang, Dudu tidak buang-buang waktu lagi untuk ganti baju dan lompat masuk ke kolam renang. Hujan masih gerimis dan airnya dingin. Tapi yang namanya anak suka berenang memang susah dilarang. Saya sebenarnya agak segan Dudu berenang di saat hujan, soalnya kalau di apartment kan hujan membuat air kolam jadi kotor. Mana tahu ada kuman apa yang ikut bersama tetesan air dari langit itu. Kehujanan biasa saja khawatir, apalagi pakai berenang?

Saat saya masih ngedumel, tidak rela melepas si anak berenang, Dudu nyeletuk, “kan nanti tinggal mandi pakai si Satu Tetes, Ma. Santai sajalah. Kuman tidak usah dipikirkan.” Memang sih, Lifebuoy clini-shield10 ini memberikan perlindungan dari kuman 10x lebih baik hanya dengan 1 tetes. Jadi kenapa tidak mencoba inovasi baru dari Lifebuoy ini ketika hendak membeli sabun keluarga yang baru? Lebih baik mencegah daripada mengobati.



Dan yang sebenarnya harus dipikirkan sekarang adalah barang bawaan pulang yang membengkak karena saya tidak berhasil mencegah diri sendiri untuk tidak kebanyakan belanja.

Ngopi Seru dan Cerita Inspirasi

$
0
0
“Ketika semua orang mau datang ke Indonesia, kenapa kita malah mau ke luar [negeri]?” Pertanyaan ini membuat saya cukup merenung sehabis makan siang. 

Sang penanya kemudian menjelaskan potensi pasar digital di Indonesia yang saat ini baru digarap sepersekiannya dan menyisakan puluhan triliun untuk 10 tahun kedepan. Saya lalu duduk manis mendengarkan kelanjutan cerita sang penanya, sambil memikirkan jawaban atas pertanyaannya tadi.

Cerita Pak Gaery

Gaery Undarsa, Co-founder dan CCO Tiket.com, kembali ke Indonesia setelah bermukin 10 tahun di Kanada. Bukan karena terpaksa, katanya, tapi memang karena beliau ingin kembali pulang. Lalu terbentuklah Tiket.com di tahun 2011 yang melayani pembelian tiket pesawat, tiket kereta api, tiket konser, sewa mobil, dan pemesanan hotel. “Industri online travel amat menarik,” kata Pak Gaery. Tiket.com mencatatkan perkembangan hingga 300% di tahun 2015. Sesuatu yang tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. 


Sharing dari Gaery Undarsa, Co-founder dan CCO Tiket.com

Kemarin, sehari sebelum Valentine, Tiket.com mengajak blogger untuk ngopi bersama dan belajar tentang “How To Brand Your Blog” bersama senior blogger Indah Juli di Hongkong Cafe, Thamrin. Dari 200an blogger yang mendaftar, ada 50 yang terpilih untuk hadir. Dalam acara ini, Pak Novasta dari B2B Tiket.com juga menjelaskan program afiliasi yang berjalan saat ini.

“Kenapa blogger? Soalnya Tiket.com mencari yang online-minded dan apa sih yang bisa kita kerjakan bersama di dunia online dengan potensi yang ada saat ini?” Jelas Pak Gaery. Salah satu kisah sukses afiliasi Tiket.com datang dari Adam, pemilik website travelkita.id. Mas Adam yang awalnya membuat website hanya untuk membantu keluarganya memesan tiket pesawat dan booking hotel, sekarang memiliki passive income yang lumayan karena websitenya menggunakan widget Tiket.com. 

Pak Novasta dari Tiket.com menjelaskan tentang afiliasi
Mas Adam sedang sharing tentang TravelKita
Dengan semua kebanggaan ini, termasuk angka pencapaian 10,000+ booking/day di 2015 yang membuat saya kagum, Pak Gaery meng-highlight bahwa Tiket.com adalah 100% Indonesia, mulai dari modal hingga pegawai semuanya milik anak negeri. Salut.

Cerita Mak Indah

Mak Indah Julianti khusus datang dari Jogja untuk berbagi ilmu. Blogger senior yang akrab dipanggil Makpuh di komunitas Emak-Emak Blogger ini sharing tentang bagaimana membangun brand sebuah blog. “Agak kurang setuju sebenarnya,” kata Makpuh membuka pembicaraan. “ Soalnya untuk saya, blogging ya menulis. Selebihnya adalah privilege.” Jadi, sebenarnya, branding blog adalah tentang menunjukkan siapa kita sebenarnya di dunia maya. Yes, tentu ada social media yang overwhelming jumlahnya dan terus muncul versi terbarunya, tapi blog menyediakan wadah untuk pemikiran kita yang mungkin sering lebih panjang dari 140 kata. Bukan hanya tulisan, kata Makpuh, tapi juga cara kita menjawab komentar yang mampir di blog kita dan lewat bagian about me yang tidak boleh sepi prestasi.

Mak Indah Julianti dari KEB sharing tentang branding blog
Kalau dapat job, saran Makpuh, pahami tawarannya, brandnya, dan instruksinya. Sesuai tidak dengan karakter blog dan hati nurani kita? Sebagai blogger professional kita wajib memikirkan dahulu apa yang mau ditulis termasuk menyimak key message dan brief dari klien. Setelah itu cari data pendukung dan research keywords yang dapat memaksimalkan postingan kita. Makpuh juga menyemangati blogger agar jangan takut bernegosiasi dengan klien.

Satu nasihat Makpuh yang saya bawa pulang sore itu adalah, “blogger itu penyampai pesan, bukan penjual barang.” Bekerja sama dengan brand bukan berarti hard-selling. Mengambil contoh dari cerita Mba Nuniek, sang moderator, bentuk kerjasama bisa berupa review event tahunan sambil memberikan backlink ke penjualan tiket konser atau event di Tiket.com. Yang jelas pengalaman itu penting dalam membuat satu blogpost, jadi jangan ragu untuk pinjam atau beli jika memungkinkan. Jangan buat review dari hasil search. Berlaku juga untuk event, kalau memang tidak pergi ya jangan memaksa menulis. Tapi, jika mau menulis, pastikan kita memang menyukai produk atau eventnya ya.

Acaranya rame banget ya!
Cerita Saya

Menyimak tanya jawab para blogger dengan para pembicara membuat saya menyadari serunya dunia online. Ada yang bertanya afiliasi, ada yang penasaran tentang blogger vs influencer, dan ada yang mau tahu cara menulis postingan kerja sama yang baik. Belum lagi di acara Ngopi Bareng Tiket itu saya bertemu teman-teman blogger dari berbagai genre. Ada food blogger, emak-emak blogger, travel blogger, semua hadir di sana. Takjub juga. Terlalu seru sampai tidak sadar kalau coffee break sudah di sediakan oleh panitia. Haha.

Sepertinya seru kalau acara semacam Ngopi Bareng Tiket ini diadakan di atas gerbong kereta. Kan Tiket.com jualan tiket kereta api online juga. #Eh

 
(kiri) Ngopi Bareng Tiket; (kanan) Iseng browsing hotel pakai apps Tiket.com

Tidak seperti Pak Gaery, saya yang terpaksa pulang ke Indonesia ini sampai sekarang masih bingung mau berbuat apa di negeri sendiri? Mungkin menjadi seorang penulis, seorang blogger, bisa menjadi pilihan. Soalnya baru di Indonesia saya ngeblog serius dan berusaha menciptakan keunikan saya sendiri, seperti saran Mak Indah. Keunikannya apa? Well, cita-cita saya sih bisa punya travel blog berdua anak semata wayang saya ini, mengeksplorasi pariwisata Indonesia. Syukur-syukur ada rejeki lebih untuk keliling dunia berdua si Dudu. Toh, mau beli tiket pesawat, kereta api, booking hotel sampai sewa mobil, semuanya bisa online lewat Tiket.com.

(Ki-Ka) Mba Nuniek, Pak Gaery, Mak Indah, Pak Novasta dan Mas Adam
Kalau cerita ngopi seru Anda seperti apa?

Menginap di Grand Batu City Hotel

$
0
0
Sampai di Grand Batu City Hotel dan disambut dengan guyuran hujan di kota Batu, Dudu langsung semangat. “Aku pikir menginap di Batu berarti tidur di atas batu. Atau di gua. Ternyata masih hotel,” katanya sambil tertawa. Lega. Soalnya sepanjang perjalanan Jakarta-Malang naik KA Gajayana, saya sengaja tidak cerita.

LobbyGrand Batu City yang luas. Tangga naik menuju ke restoran.
Padahal waktu kecil kita pernah ke Batu. Pernah merayakan tahun baru di Batu dengan pergi petik apel. Memangya Batu di mana sih? Kalau Jakarta punya Puncak, Semarang punya Bandungan, Malang punya Batu. Kira-kira begitulah.

Kotanya sejuk dan hujan yang terus menemani kita membuat suasana #DateWithDudu kali ini jadi romantis. Yang jelas Dudu senang banget karena tidak panas. Haha. Sampai di Batu, kita langsung check in hotel Grand Batu City. Letaknya diantara pusat kota alun-alun dengan Selecta dan Jatim Park. Jadi cukup strategis. Meskipun Batu tidak cukup besar tapi perjalanan dari satu titik ke titik lain bisa memakan waktu 15-20 menit.

Tempat duduk ekstra di samping lobby.
Bisa untuk duduk main wi-fi atau main petak umpet.
“Lobbynya luas, Ma. Aku bisa bermain petak umpet dengan teman-temanku,” katanya ketika kita meletakkan barang-barang di lobby. Well, hotel ini memang spacious alias lega dan bersih. Selama menunggu kamar siap dan kita bisa check in, Andrew sibuk bermain bersama teman-teman seperjalanannya. Grand Batu City ini termasuk hotel baru dan sepertinya milik pribadi, bukan bagian dari chain atau franchise besar. Bangunannya agak unik karena lobbynya terletak di lantai 4. Ketika nomor kamar akhirnya disebutkan, 312, kita turun ke bawah. Begitu pintu terbuka inilah Dudu jadi sedikit sedih.

Dudu: Aku lebih suka kalau ada jendelanya dan bisa melihat pemandangan kota.
Mama: Tapi kan kamarnya besar, tempat tidurnya besar dan empuk. Itu ada jendela.
Dudu: Iya sih. Tapi jendelanya malah menghadap ke dalam hotel. Jadi tidak ada yang bisa dilihat.

Ada kalanya saya dan Dudu tidak bisa sehati ketika kita mereview satu tempat. Salah satunya ya hotel ini

Kamar deluxe dengan 2 bed.


Kamarnya sendiri sih sejuk, dengan TV besar plus saluran cable yang cukup lengkap, dan kamar mandi yang nyaman meskipun tanpa bathtub. Ada air panas jadi kita tidak khawatir akan kedinginan dan banyak meja untuk meletakkan barang. Yang kurang banyak hanya colokan untuk charge gadget kita yang kebanyakan jumlahnya, dan sinyal HP yang hilang timbul. Mungkin karena kita ada di lantai bawah karena sinyal dan free wi-fi hotel lancar kalau kita di lobby. Tapi yah, namanya juga liburan. Bebas gadget boleh dong haha.

Pemandangan jendela kamar yang membuat Dudu sedih
Hotel ini juga dekat mini market, jadi tinggal menyeberang saja kalau lupa bawa sabun atau kelaparan. Di depan mini market ada tukang martabak yang siap menolong kita yang butuh bekal di perjalanan. Selain harganya lebih murah dan ukuran yang lebih kecil dari pada yang biasanya saya beli di Jakarta, si martabak juga masih klasik. Alias, toppingnya hanya coklat, keju atau kacang. Jadi lupakan diet karena hari itu saya jadi makan 8 potong martabak sendirian.

Bangun pagi, Andrew minta berenang, sayangnya karena mau melanjutkan perjalanan ke Selecta, aktivitas yang satu ini harus kita tunda. Kolam renang dan area bermain anak yang terlihat dari jendela restoran pada saat makan pagi memang cukup menggoda anak-anak. Andrew harus berpisah dengan roti, sosis, omelet dan sereal yang menjadi rutinitas sarapan pagi hotel untuknya. Soalnya breakfast di Grand City Batu Hotel ini lebih ke Indonesian food: nasi goreng, mie goreng, rawon dan lauk pauk lainnya. Restorannya luas dan pemandangannya indah. Kalau di hotel lain biasanya saya was-was saat anak-anak ini berlarian di saat makan, di sini saya bisa duduk minum kopi sambil menghabiskan sarapan tanpa khawatir Andrew akan menyenggol makanan ketika bermain dengan teman-temannya.

Pemandangan dari jendela restoran. Mungkin kalau dapat lantai atas bisa lihat ini dari jendela.
Photo by Dudu
Kolam renang dan playground. Dilihat dari jendela restoran pada saat breakfast.
Photo by Dudu
Kalau ditanya apa hotel ini bagus, Andrew akan kembali mengeluhkan jendela. Tapi karena kita tinggal di sini hanya untuk tidur dan tempat tidurnya nyaman, jadi kita berdua tidak keberatan. Toh, banyak space kosong yang bisa untuk anak lari-larian tanpa khawatir. Jadi jawabannya: tergantung. Hotel ini lebih untuk yang mau stay bukan staycation. Atau next time kita bisa minta kamar lantai atas dengan jendela dan melihat apakah pemandangan benar-benar membawa perbedaan.

Check in at
Hotel Grand City Batu
Jl. Bukit Berbunga 104-108, Batu, Jawa Timur
(0341) 524947 / 524948

Sabtu Pagi Bersama Setrika Philips HD1173 dan Judika

$
0
0
Beberapa hari belakangan ini saya sering bertemu dengan kata “prodigy.” Kalau kata kamus sih artinya seseorang yang masih muda dengan bakat luar biasa. Di launching Philips Setrika HD1173 di Pondok Indah Mall 2, saya bertemu dengan “prodigy” yang memperkenalkan diri dengan membawa rekor MURI dan seorang papa yang bisa menyanyi sambil menyetrika.





“Pendahulu Philips Setrika HD1173 ini sudah menjadi bagian dari keluarga Indonesia selama 20 tahun,” jelas Erik van Houten, Head of Marketing Philips Personal Health Indonesia. “Dan kini kami menggantikan sebuah produk ikonik dengan yang 2x lebih tahan lama. Kami ingin menunjukkan bahwa produk Philips benar-benar tahan lama.” Tidak tanggung-tanggung memang, rekor MURI yang didapatkan oleh Philips HD1173 adalah menyetrika selama 200 jam non-stop. Pada bulan Januari, Roadshow Truk Setrika Philips berkeliling ke 20 shopping areas di Jakarta, Depok dan Bekasi, serta melibatkan lebih dari 2000 ibu-ibu untuk menyetika dengan menggunakan Philips HD1173. Truk Setrika Philips dibuat dengan kaca sehingga masyarakat dapat menyaksikan bagaimana Philips HD1173 digunakan non-stop selama kurang lebih 9 hari.

Penyerahan Rekor MURI
Pemberian donasi kepada Lions Club Jakarta Monas Kalingga
Yang disetrika adalah pakaian bekas. Soalnya Philips bekerja sama dengan Yayasan Lions Club Jakarta Monas Kalingga untuk mendonasikan pakaian bekas layak pakai untuk disetrika dan kemudian disumbangkan kepada yang membutuhkan. Bukan hanya itu, pada acara launching dan perayaan yang dilaksanakan pada hari Sabtu 20 Februari kemarin, penyanyi Judika dan MC Ersa Mayori turut melelang baju kesayangan mereka untuk penggalangan dana.
Judika bersama pemenang lelang baju
Harus diakui memang kalau menyetrika bukan hal yang mudah dan menyenangkan untuk dilakukan. Maria Simanjuntak, Senior Marketing Manager, Domestic Appliances Philips Personal Health Indonesia memaparkan bahwa ada beberapa masalah utama yang sering ditemui ibu-ibu kala menyetrika. Mulai dari alas setrika yang kotor atau rusak, suhu yang telalu panas, kabel yang terkelupas hingga setrika yang terlalu berat. Karena rata-rata orang Indonesia menyetrika 1-2 jam satu hari, maka setrika yang ringan akan sangat membantu para ibu-ibu. Philips HD1173 menjawab semua permasalahan itu dengan lapisan keramik yang tidak lengket, tahan gores dan mudah dibersihkan, desain dengan pegangan yang nyaman, serta alur kancing untuk memudahkan kita menyetrika diantara kancing dan kelim. Warnanya juga seru, tinggal pilih hitam atau pink fuschia.


Pilihan warna Philips HD1173
Jadi, bagaimana membuat menyetrika menjadi menyenangkan? Hasil survey yang dilakukan Philips pada ibu-ibu usia 25-40 tahun tahun lalu menyatakan bahwa menyetrika harus ada hiburannya. Jadi tidak heran kalau hari itu kita bertemu Judika yang sepertinya disukai banyak ibu-ibu ini. Saya bukan fans Judika, tapi hari itu terkagum-kagum dengan suaranya. Apalagi ketika Papa dua anak ini menunjukkan kemampuannya menyetrika sambil bernyanyi. Yang menyetrika ya Judika, yang menghibur juga Judika. Haha. Boleh juga kalau begitu ya. Mengaku sudah menyetrika sendiri sejak merantau ke Jakarta, Judika bahkan masih menggunakan cara manual dalam memeriksa suhu, yaitu didekatkan ke pipi. Kalau pakai Philips HD1173 sih tidak perlu pakai cara ini lagi karena sudah dilengkapi lampu indikator suhu yang menyala saat memanaskan dan padam saat panas pelat yang diinginkan sudah tercapai.



Saya juga bukan fans setrika dan di rumah saya tugas ini jadi milik Mama saya. Kalau kata Dudu, “boleh dibawa pulang, Ma. Buat bantu Oma setrika agar tidak stress.” Yang dibawa pulang setrika Philips HD1173nya atau Judikanya, Du?

Cerita Hobi Membaca

$
0
0
Andrew selalu bawa buku (komik) di dalam tasnya. Selain action figure dan gadget yang namanya bacaan tidak pernah ditinggalkan. Sekolahnya mewajibkan murid yang menunggu kelas mulai dan menunggu dijemput setelah pelajaran usai untuk membaca buku. Jadi ada 1 buku yang dibawa untuk dibaca ke sekolah. Kenapa sih, harus segitu niatnya dalam membaca?



Papa saya besar dengan membaca, jadi yang namanya buku ensiklopedi atau fiksi sudah tidak asing lagi di rumah. Meskipun kami tidak punya perpustakaan pribadi, tapi koleksi buku yang ada dikumpulkan dalam beberapa lemari, termasuk satu lemari besar yang laci paling atas hanya bisa dijangkau dengan tangga. Ketika Andrew menjadi penghuni tetap rumah masa kecil saya itu, membaca juga menjadi hobi yang diturunkan. Koleksi buku Andrew mulai dari komik Smurf hingga kisah detektif tikus penakut bernama Geronimo Stilton yang jadi bacaan wajib di sekolahnya. Membaca adalah cara mengisi otak kita.

“I consider that a man’s brain originally is like a little empty attic, and you have to stock it with such furniture as you choose.”
― Arthur Conan Doyle, The Complete Sherlock Holmes
Koleksi Geronimo Stilton si Dudu
Dulu, waktu kecil, Andrew paling susah disuruh konsentrasi membaca.
Mama: Kenapa kamu jadi bisa baca?
Dudu: Soalnya Mama membohongi aku. Kalau aku tidak baca aku pasti tertipu.

Itu baru alasan pertama. Sekarang jawabannya lain lagi.
Mama: Du, apa gunanya membaca?
Dudu: Buat tau cerita... (berpikir) dan buat main game. Kalau aku tidak membaca, aku tidak tahu ceritanya, tidak bisa baca harus instructionnya dan bisa salah menembak survivor.

Kalau Andrew wajib membaca satu buku setiap bulan dari sekolahnya, saya baca buku sesempatnya. Buku terakhir yang saya baca berjudul The Sherlockian karya Graham Moore. Membacanya ada sekitar 1-2 bulan karena selain sibuk, saya juga belum terbiasa membaca karya fiksi terjemahan. Buku ini menceritakan dua kisah yang terjadi secara paralel yang dihubungkan oleh detektif favorit saya, Sherlock Holmes. Kisah pertama terjadi di 1901, ketika kita mengikuti petualangan pencipta Sherlock Holmes, Arthur Conan Doyle, yang berusaha menghilangkan bayang-bayang tokoh yang diciptakannya (dan dibencinya) itu. Yang kedua pada tahun 2010, ketika seorang Sherlockian bernama Harold White menyelidiki kasus pembunuhan rekannya yang melibatkan sebuah diary milik Arthur Conan Doyle yang hilang. 



The Sherlockian yang menemani saya di kala menunggu
Buku setebal 542 halaman itu saya temukan di tumpukkan buku diskon yang ada di Gramedia. Seperti biasa, satu tempat yang saya pasti kunjungi di sebuah pusat perbelanjaan adalah toko buku. Sekarang kebiasaan ini menurun ke Andrew yang juga selalu berbelok mencari bacaan. Bahkan dengan gadget yang ada, di mana cerita dengan mudah di download di Kindle dan sejenisnya, saya masih pergi bersama Dudu, berburu buku sampai Singapura. Soalnya menyelesaikan satu buku itu sesuatu. Menutup lembar terakhir dan bisa berkata “selesai” adalah sebuah pencapaian sendiri. Jadi, mungkin saya yang kalau kerja suka tidak fokus ini membaca untuk melatih diri berkomitmen menyelesaikan satu tugas. Selain tentunya, sebagai penulis, saya membaca untuk mencari inspirasi tulisan berikutnya.


 

Tapi postingan ini tidak menjawab benar kenapa saya membaca? Well, sama seperti jatuh cinta, agak sulit menjelaskan mengapa saya memilih aktivitas bernama membaca ini ketimbang yang lainnya. Membaca memang banyak manfaatnya, mulai dari mendapat ilmu baru, menumbuhkan inspirasi, menambah perbendaharaan kata sampai memperkaya imajinasi dan pengetahuan. Tapi alasan sebenarnya kenapa saya membaca ya karena saya suka. As simple as that. Suka membalik setiap lembaran, menanti pemecahan kasus (saya bacanya cerita detektif dan misteri haha). Suka ikut tenggelam berpetualang di ruang dan waktu yang berbeda bersama tokoh cerita. Sampai pas SMP saya pernah disetrap oleh guru Sosiologi karena sibuk baca biografi Sukarno pas jam pelajaran. Lha, ceritanya belum selesai, bagaimana mau berhenti membaca? Sekarang, karena mengambil kelas Journalism for Social Change di @America, saya jadi banyak membaca literatur yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Just like Sherlock himself said in The Adventure of the Lions Mane, salah satu cerita yang diterbitkan Arthur Conan Doyle setelah rangkaian kejadian yang diceritakan di The Sherlockian: “I am an omnivorous reader with a strangely retentive memory for trifles.” 


Tulisan ini diikutkan Giveaway "Kenapa saya membaca" yang diadakan Taman Baca Pesisir. Yuk ikutan berdonasi buku untuk anak Indonesia bersama Taman Baca Pesisir.

Learning Language with Duolingo

$
0
0
Determined to write an English Post for English Friday Challenge, I was honestly challenged by the topic: favorite apps on your smartphone. The first thing I do is eliminating all the social apps. Then I turned to Dudu.

Dudu: Criminal Case?
Mama: Well, that's more like a game.
Dudu: But it's a fun apps.

True. When my tablet died, and I bought its replacement, one of the first game/apps I installed back on was Criminal Case. It's a game that unites us, as we collaborate to solve each case and move on to the next level. But it's not exactly an app. At least not for me. So what, then? I like Snapseed, but I don't have that much time to edit pictures. I use Google Keep for blogging but it's not exactly an exclusive android app either because you can switch back and forth to desktop. Then I realize an abandoned application on the left corner called Duolingo. A language-learning app. It's was installed earlier last month in conjunction with my long-term resolution of learning a new language. So here I left it dusty. 

If you abandoned them, the bar will decrease like the one on the right
Among many other language-learning apps, Duolingo is my favorite because it's simple. You can pick the language, set your goals and learn systematically. After a while you also has to refresh some of the previous skills you've acquired. It only takes 5 minutes for each lesson and there's a test out and short cut option for those feeling confident about their language skills.

Curious, I gave French a try and skipped a few basic lessons. Whoa, my high-school French is still there apparently.

It wasn't the perfect app. Switching from one language to another is a little tricky and it takes time to load if you have more than one languages. When I signed up for German, it won't let me do placement test so I have to start from super basic lessons. I can test out each lessons or take shortcuts though. In terms of language choices, the app focuses, more on European languages. Most of them are the ones written in Latin alphabets. There's also English lessons for Indonesian speakers. So if you want to learn English everyday everywhere, this app may help you. But if you're looking for something like Japanese, Mandarin or Korean, it'll be another app on your gadget. Psst, I used TenguGo Hangul for my Korean lessons.
Lessons looks like this at Duolingo
Pick a language and switch them as you learn.

Rewards are easy to track.
It also tells you how far you are from your daily goals
Duolingo has been installed by over 50million users and has been dubbed the best language-learning app by The Wall Street Journal. While the size may vary with devices, this app currently takes 17,83MB on my Samsung 3V. Its content rating is 3+ and actually it looks easy enough for kids to try.

The biggest challenge isn't finding the right app, but making time to actually click on the app and go through the lessons again. Today is a new month so it's probably the right time to start again. Like how we are willing to redo the 12 levels of Criminal Case when my previous tab died.

Just Try Everything At Zootopia

$
0
0
Nonton film ini diawali dengan rasa skeptis akan film kartun (saya) dan rasa penasaran akan pertualangan rubah dan kelinci (Dudu). Kegagalan nonton di weekend pertama film ini keluar, membuat kita mencoba lagi. Kalau kata Shakira: Try Everything.

Menemukan backdrop subway Zootopia di depan CGV
Soalnya tumben Dudu mau diajak nonton film yang malam (kita nonton 7.30 di CGV) dan tumben saya bisa pulang dari kantor pas jam 6 karena bos lagi dinas. Karena sepertinya semesta mendukung, ya sudahlah yuk dicoba nonton jam yang notabene tidak biasa buat kita. Coba jelaskan ceritanya, Du? Sampai diomongin terus?

“Ceritanya adalah seorang kelinci... Eh, seekor kelinci yang mau jadi polisi. Dia pun latihan dan akhirnya bisa melakukan tes untuk menjadi polisi kelinci pertama. Dia pun dikirim ke Zootopia dan dia pikir tugasnya akan bagus tapi malah jadi polisi parkir. Dia merasa kecewa. Tapi di jalan ketemu Nick, seekor rubah. Sudahlah habis ini Mama saja yang lanjutkan.” ~Dudu
Jadi Judy Hopps si kelinci dari desa berhasil menjadi polisi dan ingin memecahkan kasus. Ambisinya membawanya pada kasus pencarian mamalia hilang yang sudah ditangani polisi Zootopia selama beberapa waktu. Bertemu dengan Nick yang notebene seorang, eh, seekor rubah, membuatnya harus bekerja sama dengan predator untuk memecahkan kasus ini. 


Ceritanya termasuk seru dan tidak se-kartun dugaan saya. Misteri yang harus dipecahkan membuat film ini tidak membosankan bagi orang dewasa yang menemani anak-anaknya menonton. Binatangnya juga lucu-lucu dan meskipun sudah beradab, tetap tidak kehilangan sifat-sifat binatangnya. Sloth yang tetap lambat, rubah yang tetap licik dan serigala yang kalau melolong menular pada yang lain. Ada juga cerita tentang orang tua Judy yang tidak percaya bahwa dunia luar itu aman dan berusaha meyakinkan anaknya bahwa menjadi petani wortel adalah hal yang paling aman.

Mama: Kamu paling suka bagian apa?
Dudu: Bagian yang aku paling suka adalah waktu klik si Judy merekam ucapan dengan pensil wortel.
Mama: Kalau Mama paling suka bagian serigala yang melolong satu terus melolong semua.
Dudu: DVDnya kapan keluar, Ma?
Nah, kalau Dudu sudah menanyakan DVD berarti memang ini film berkesan buat Dudu dan dia ingin menonton lagi.

Apa yang kamu pelajari di film ini, Du? “Meskipun ada 2 spesies yaitu yang jahat dan yang baik, tidak boleh dihancurkan. Juga jangan menyerah meskipun semua keturunanmu tidak ada yang jadi polisi. Bagaimana jika kau bisa?”



Lagu yang dinyanyikan Shakira si Gazelle, artis ibukota Zootopia, berjudul Try Everything. Intinya tentang menyemangati anak-anak (dan mungkin orang dewasa juga) untuk berani mencoba meskipun jatuh bangun. Seperti Judy ketika mengikuti pelatihan kepolisian, yang awalnya selalu gagal. Atau ketika penyelediikan mentok di tengah jalan pun selalu ada cara lain untuk memulai lagi dan sampai akhirnya berhasil memecahkan kasus. Buat penggemar Sherlock seperti saya, setengah jalan sudah kelihatan pelakunya haha. Dudu bilang, “Mama hebat bisa tahu pelakunya seperti Conan.” Yah, maunya kan seperti Holmes, kok jadi Conan, Du? Tapi bukan berarti Anda harus mendeduksi pelakunya. Enjoy saja dengan alurnya dan binatang-binatang super cute yang ada di Zootopia. Saya lega saya mencoba menyingkirkan rasa skeptis saya dan mencoba nonton film ini.

Tapi tetap dong, yang paling membuat Dudu penasaran adalah: “Apakah mereka pacaran? Apakah mereka akan pacaran di Zootopia 2?”



Sejenak di Kampung Batik Laweyan

$
0
0
"Jaga istrimu baik-baik ya, Om." Kalimat Dudu yang berani menguliahi sepasang pengantin baru itu mengundang gelak tawa semua orang yang mendengarnya. Well, pernikahan sepupu saya inilah yang membawa petualangan kita ke Solo, Jawa Tengah. Kota Batik, kalau kata tulisan di bawah nama airportnya.

Meski Adi Sumarmo ternyata terletak di Boyolali.

Berada di kota batik berarti kita harus belanja batik. Apalagi saya termasuk yang kecanduan batik. Mengikuti tante-tante yang hobi shopping, saya sampai di satu lokasi bernama Kampung Batik. 



"Kampung Batiknya mau di toko yang sebelah mana, Bu?" Tanya supir taksi dan kita semua bingung. Ternyata yang disebut Kampung Batik itu adalah satu daerah di Laweyan yang merupakan pengrajin dan toko Batik. Pergi ke sana harus tahu mau ke toko apa. Akhirnya, perhentian pertama kita adalah di Batik Putra Begawan. Bulan Februari ada Solo Great Sale, jadi banyak yang diskon setengah harga. Tapi tanpa diskon pun sebenarnya harga batik di tempat ini juga sudah relatif murah, mulai Rp100,000an untuk dress. Dan bukan hanya baju, karena toko-toko di Laweyan ini juga menjual aksesoris dan tas batik. Blangkon yang saya beli untuk Andrew harganya hanya Rp30,000.

Keluar dari Putra Begawan yang terletak di depan tugu dan pangkalan becak, kita berjalan ke kiri dan menemukan banyak toko batik yang berada dalam rumah-rumah penduduk. Beberapa bahkan hanya dapat ditemukan jika kita rajin keluar masuk gang kecil. Hari Minggu pagi terlihat sepi, karena menurut seorang bapak yang jadi guide dadakan kita hari itu Kampung Batik lebih populer pada sore hari. Selain karena panas kota Solo yang bisa jadi terik, tempat ini buka hingga jam 9 malam. Jadi yang datang sore pun bisa puas belanja, bahkan setelah matahari terbenam.



Menuju Kampung Batik dari hotel sebaiknya menggunakan taksi. Selain parkiran agak susah di sana, berkelilingnya juga lebih enak jalan kaki karena banyak gang kecil yang hanya bisa dialui orang. Kalau ada mobil bisa parkir di daerah Putra Begawan, lalu lanjut dengan jalan santai atau naik becak.

Dan bukan hanya belanja, kita juga bisa mengenal lebih banyak tentang batik, bahkan bisa belajar membatik. Sayangnya, kalau hari Minggu banyak yang meliburkan diri. Tapi karena tujuan tante-tante yang saya ikuti hanya browsing dan shopping, jadi kita tetap berkeliling dengan antusias.




"Di sini banyak rumah Joglo yang sudah tua, Bu," kata bapaknya. "Sebagian sudah ada sebelum Kasunanan terbentuk. Kemarin juga ada beberapa yang sudah direnovasi oleh Departemen Pariwisata. Jadi selain batik, banyak juga yang datang untuk melihat arsitektur." Kalau menurut Mbah Google, Kamung Batik Laweyan sudah ada sejak kerajaan Pajang di tahun 1546 dan konon sejarah Batik Surakarta bermula dari sana. Sayangnya karena sudah harus mengejar pesawat (yang akhirnya malah delay itu), saya jadi tidak sempat eksplor lebih jauh. Padahal, jika membaca papan petunjuk jalan yang tersebar sepanjang jalan utama dari arah tugu ada banyak tempat bersejarah yang dapat dikunjungi seperti Masjid Laweyan, Makam Kyai Ageng Henis, Langgar Merdeka dan Rumah Tjokrosoemartan.




Intinya, Saya belum puas. Masih mau belanja, masih mau mencari batik untuk anak laki-laki yang entah kenapa susah sekali ditemukan. Dan saya juga ingin pergi ke sini sama Andrew karena selain seru, tempatnya juga fotogenik. Andrew pasti semangat bertualang lewat jalan kecil dan menyusuri gang misterius yang kuno. Tinggal nego kesempatan belanja batik dengan si anak yang mau ABG ini aja. But now, apparently, I have to leave the rest of the Batik village for another adventure.

Jakarta Toys & Comics Fair 2016

$
0
0
Ritual tahunan kita adalah pergi ke Jakarta Toys & Comics Fair di Balai Kartini setiap bulan Maret dan spending uang angpao Dudu di sana. Kali ini petualangan kita sedikit berbeda karena ditemani zombie dan tongkat selfie.

Biasanya kita berdua jadi salah satu pengunjung pertama. Tahun lalu bahkan sampai beli tiket pre-sale. Namun kali ini tidak ada cerita mengantri hari Sabtu pagi di Balai Kartini karena si Dudu sakit. Dari Jumat sudah bertaruh, kalau tidak sembuh ya berarti kita terpaksa melewatkan kencan tahunan kita ini. Tapi karena si Dudu sudah bertekad untuk sembuh, jadi hari Minggu kita berangkat untuk hunting action figure pelengkap ceritanya. 


Foto pakai monopod. Dudu yang keker, Dudu yang pencet tombol. Untung sukses di percobaan perdana.

Datang jam 12, macet di jalur kiri sudah sejak pom bensin sebelum Patra Jasa. Jadilah kita banting setir ke kiri dan parkir di Patra Jasa. Hanya jalan 2 gedung kok dan (syukurlah) ada trotoarnya. Sampai di Balai Kartini, kita masuk ngga pakai antri. Harga tiket on the spot tahun ini Rp40,000. Begitu masuk, Dudu langsung semangat.

Dudu: Ada peta?
Mama: Peta buat apa?
Dudu: Aku mau cari yang jual action figure.

Yang pertama kita lihat tentu saja Lego yg sudah mengambil seperempat area. Kalau hari pertama biasanya area ini penuh, kali ini tidak terlalu parah. Dudu bukan fans berat Lego meskipun masih senang mainnya. Jadi kita hanya berkeliling melihat bricks yang sudah disusun. Kali ini Dudu bawa kameranya sendiri, hasil menang lomba foto waktu itu. 


Mama: Ngapain difotoin satu-satu?
Dudu: Ini bisa untuk contoh aku main Minecraft.
Jujur saya tidak pernah terpikir untuk itu.

Area Lego yang super besar. Foto-foto Lego di bawah ini hasil karya Dudu lho.



Dari Lego ke Saint Seiya, lalu ke berbagai booth mainan yang lain. Seperti biasa, action figure The Walking Dead yang paling menarik perhatiannya. Sayang yang kita temukan Andrea lagi. Misi Dudu sebenarnya masih sama: mencari tokoh wanita untuk ceritanya. Tapi yang ada kita malah bertemu mainan motor dengan harga Rp.100,000/ 3pcs. Di sini ada debat lagi.
Dudu: Aku cuma perlu satu karena hanya ada satu yang naik motor di cerita.
Mama: Tapi itu 100 ribu dapat 3, jadi kamu beli 3. Siapa tahu ada yang membutuhkan motor lagi.
Dudu: Baiklah. 






Selain karena Dudu sakit, alasan kita datang di hari Minggu adalah Resident Evil cosplay show. Tapi karena keasyikan selfie dengan tongsis baru seharga Rp. 25,000 yang ditemukan di salah satu booth, bagian depan action show ini jadi terlewat. Entah bagaimana, Dudu mendadak ngefans dengan si tokoh utama yang masih diperdebatkan apakah dia Alice atau Jill Valentine, dan ngotot mengejar tante bernama asli Lia tersebut sampai ke backstage untuk foto bareng.

Kalau dulu saya mengejar boyband, sekarang nurun ke Dudu yang sibuk mengejar coplsplayers. Haha. Tapi kita kangen zombie yang dulu pernah mengisi dan jadi alasan kita datang ke Jakarta Toys Fair. Namanya juga sayang anak, meskipun jijik dengan the undead, saya tetap antar dan foto-foto. 


Dudu dan Tante Lia
Happy ending? Well, we enjoyed the event. Meskipun Dudu gagal menemukan si tokoh perempuan yang dia cari. Kita hanya bawa pulang motor dan senjata untuk action figure si Dudu. Di JakToysFair ini kita akur, mulai dari sibuk terpesona dengan pistol korek api hingga berdebat tentang nama tokoh Dragon Ball yang action figurenya dipajang di etalase.

Tidak sabar menunggu tahun depan. Dan sekarang kita punya monopod alias tongkat selfie buat foto berdua. Hore.



See you next year!

3 Life Lessons From Kungfu Panda 3

$
0
0
Saya selalu punya soft spot untuk Panda. Bukan hanya karena mereka lucu, dan kita share kesenangan makan bambu (maksudnya ini saya suka rebung isi lumpia lho), tapi karena saya punya boneka Panda yang seumur Master Shifu. Lalu muncul hari libur kejepit tengah minggu dengan ajakan nonton Kungfu Panda 3. 


Cerita Kungfu Panda 3 masih tentang Panda bernama Po yang sekarang sudah jadi Dragon Warrior. Ketika dia berpikir cerita hidupnya sudah selesai, Master Shifu menyuruhnya jadi guru. Dan Po, tentu saja, gagal. Di saat dia sedang memikirkan nasehat Master Shifu untuk menjadi dirinya sendiri agar dapat menguasai Chi, desanya kedatangan seekor Panda bernama Li Shan yang ternyata adalah ayah kandung Po. Karena konon para Panda dapat mengajarkan Chi, dan tenaga itu diperlukan untuk mengalahkan Jendral Kai yang mengancam desa maka Po ikut dengan ayah kandungnya ke Desa Rahasia Panda. 

Ini penampakan Kai, musuh Kungfu Panda 3
Po seperti Dudu, suka main action figure
Dudu, yang mengikuti sejak film pertama langsung berkomentar,“Aku paling suka saat Kungfu Panda bertarung dengan Kai. Lalu saat Kai menyerang the Valley. Aku juga suka itu, saat Po menyiapkan strategi dengan makanan, lalu makanannya dimakan oleh anak-anak Panda.”

Filmnya bagus. Namanya sequel, apalagi sudah yang ke-3 biasanya membuat satu seri jadi membosankan. Tapi film Kungfu Panda 3 yang berdurasi 1 jam 35 menit ini, mengangkat hal yang baru (the idea of Chi) dan melibatkan banyak karakter termasuk anak-anak panda yang lucu. Surprisingly, sementara saya sibuk dengan kelucuan Panda, Dudu tetap paling suka sama Tigress. Meskipun masih mengedepankan adegan yang membuat semuanya tertawa, di bagian awal, Jendral Kai yang bentuknya antara kerbau dan banteng itu cukup menakutkan bagi anak batita. Sempat ada yang nangis waktu pertarungan antara Master Oogway dan Kai dimulai. Keseruannya sendiri baru dimulai setengah film ke belakang.


Lessons from the Pandas
“Kau tidak diajar untuk jadi berbeda tapi untuk jadi dirimu sendiri.” - Dudu
Untuk film sesederhana Kungfu Panda, konsep chi, mindfulness dan compassion yang ada di dalam film membuat saya kangen duduk di kelas Buddhism of East Asia jaman kuliah dulu. Chi (atau qi) merupakan aliran energi yang ada di dalam tubuh kita. Dengan menguasai Chi, kita bisa jadi lebih tenang dan menguasai emosi yang kemudian membawa kita kepada konsep “mindfullness” yang diajarkan oleh Master Shifu kepada Po, lalu Po kepada seluruh penduduk desa Panda. Mindfullness secra singkat berarti kesadaran diri.

Lesson 1: Be who you are. But to do that, you have to know who you are.


Po yang kebingungan apakah dia Panda, apakah dia Dragon Warrior, apakah dia guru atau dia murid Master Shifu akhirnya mengerti bahwa kesemua peran itu membentuk siapa dirinya. Dalam kehidupan kita sebagai orang tua, kita juga suka main peran ganda. Jadi ibu, jadi guru, jadi teman curhat dan sebenarnya kita tidak harus memilih. Kalau pas bergaul dengan teman ya jadi teman curhat, kalau pas di rumah ya jadi ibu. Jangan pas jadi teman curhat kita keluar jati diri“ibu-ibu” dan sibuk menguliahi teman tersebut.

Lalu ada konsep compassion yang berhubungan dengan kesadaran diri. Setelah menyadari siapa kita, kita bisa berbagi kepada orang lain.

Lesson 2: Know our limit. If we can’t do it alone, let it go or ask for help.

Master Oogway dengan tenangnya menyerah kalah dan menyerahkan urusannya dengan Kai kepada Po dan teman-temannya. Po sendiri ketika putus asa, membuka diri untuk mendapatkan bantuan dari bangsa Panda. Memang terkadang perlu pengorbanan dan merelakan sesuatu itu sulit. Namun melihat Master Oogway bisa menyerahkan urusan sebesar Kai kepada Po, membuat saya berpikir bahwa sebagai orang tua kadang kita perlu mempercayai dan merelakan anak untuk menyelesaikan urusannya sendiri.

Po bertemu ayah kandungnya
Lesson 3: Sharing doesn’t mean less, it means more for the other person.

Ketika Li Shan datang, Ayah kandung Po (si Angsa itu) merasa terancam. Dia sudah membesarkan Po bertahun-tahun dan kini si Ayah Kandung datang dan dia harus berbagi peran ayah dengan seekor Panda. Tapi akhirnya dia menyadari bahwa berbagi bukan berarti dia kehilangan Po tapi lebih banyak cinta yang ada buat Po.


Oops, ini subjek kesukaan saya. Kalau diteruskan nanti film anak-anak ini jadi terlalu berat maknanya. Intinya, Kungfu Panda 3 mengajarkan kita untuk tahu siapa kita, peran kita di dunia ini apa, sampai mana kemampuan kita dan ikhlas melepaskan sesuatu yang tidak kuat kita hadapi sendiri. Pasrah, tapi bukan apatis. Seperti Master Oogway, yang meskipun kalah di awal film tapi tersenyum paling lebar di akhirnya.

Dan film ini memberikan energi untuk saya menjadi seseorang yang lebih baik.

Arti Kejujuran Bagi Anak Kelas 4 SD

$
0
0
“Aku pernah dengar kalau ada anak berbuat nakal, orang tuanya berbohong anaknya akan ditangkap polisi atau lebih parah, akan ditinggalkan orang tua. Padahal mana mungkin, orang bodoh mana yang percaya akan ditangkap polisi gara-gara itu. Jadi orang dewasa pasti sedang berbohong.”- Dudu
Berani jujur adalah tema lomba menulis yang diikuti Andrew awal bulan kemarin. Dan surprise, anak yang selalu saya “keluhkan” susah untuk disuruh menulis blog bersama saya ini bisa mendapatkan tempat di 10 karya terpilih dan diundang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pembukaan acara Jakarta Kids Festival 2016. 

10 Anak Berani Jujur di KPK (photo: Jakarta Kids Fest)

Saya kerap bertanya kenapa Andrew lebih mirip daddy-nya yang jurnalis TV, lebih suka siaran di radio dan senang bicara serta tampil depan umum. Kenapa bukan senang menulis seperti saya, dan membantu saya ngeblog? Makanya ketika mendapat informasi tentang lomba ini, saya memutuskan dia harus ikut, meski itu berarti menulis pas deadline. Nah, ini baru mirip Mamanya yang punya tenaga extra saat kepepet.

Ada lirik lagu berbunyi, “Honesty is such a lonely word.” Tapi ternyata dalam kasus ini kejujuran tidaklah identik dengan kesendirian. Menurut Prameshwari Sugiri, CCO Ayahbunda dan Parenting Indonesia, ada ratusan tulisan yang masuk dari para pelajar SD. Semua tulisan itu kemudian diantarkan ke KPK oleh para pemilik karya terpilih. Siapa yang mengira kalau tiba-tiba saya mendapat telepon yang mengumumkan bahwa Andrew terpilih menjadi salah satu yang akan menyerahkan tulisan ke KPK.


Tulisan Andrew untuk lomba KPK
Masalahnya, ketika hari kunjungan ke KPK bersamaan dengan hari pertama UTS. Tapi setelah pesimis tidak bisa hadir, akhirnya, Andrew sampai di KPK juga hari Jumat setelah ujian. Kebagian foto bersama, cap tangan dan syuting liputan. Bangga rasanya walaupun saya tidak sempat menemani lantaran harus bekerja.

Puncaknya tentu saja acara talkshow dan penyerahan piagam untuk karya terpilih di Kota Kasablanka. Pada talkshow “Membesarkan Anak Jujur” yang menghadirkan Pimpinan KPK Ibu Basaria Panjaitan, dan Pendiri Rumah Main Cikal, Ibu Najeela Shihab membuat para orang tua merenungkan kembali pola asuh yang mereka jalankan selama ini. Menurut Ibu Basaria yang mengawali karirnya sebagai reserse di bidang Narkoba Polda Bali ini, kejahatan timbul karena adanya niat dan kesempatan. Hal inilah yang diingat oleh Andrew. Soalnya sepulang dari acara dia komentar begini, “Mama pasti tidak pernah berbuat jahat karena meskipun Mama punya kesempatan, Mama tidak niat melakukannya. Mama kan pemalas.” Enak saja.



Sementara Ibu Najeela mengingatkan kalau terkadang orang tua sibuk dengan pola asuhnya sendiri dan melupakan niat dan tujuan si anak. Padahal yang namanya suara anak perlu juga didengarkan dan dijadikan bahan pertimbangan. Andrew pernah protes soal ini, yang akhirnya menjadi inti dan highlight tulisannya.
“Jika aku mengetahui orang dewasa berbohong, aku akan tanya kenapa dia berbohong pada anak-anak. Jika tidak boleh katakan saja yang sejujurnya, tidak perlu berbohong untuk melarang anak-anak melakukan sesuatu.” - Dudu
Saya sejujurnya tidak pernah berpikir sejauh itu. Memang sih, ada kalanya saya melarang Andrew dengan alasan kurang masuk akal. Misalnya kalau belum makan tidak boleh berenang. Atau kalau belum mandi tidak boleh beli mainan. Padahal sebenarnya tidak boleh beli mainan karena mahal dan tidak boleh berenang karena udara yang terlalu dingin atau anak sedang pilek. Tidak pernah terpikirkan kalau si anak ini ternyata “kesal” dengan larangan asal-asalan yang terlontar dari mulut saya. Yah, Du, tidak semua anak bisa mengerti dan maklum kan kalau diberi tahu alasan sebenarnya.


Penerima piagam di acara Talkshow
Penyerahan Piagam oleh Ibu Basaria Panjaitan dan Ibu Najeela Shihab
Tapi ya, jadi belajar juga untuk tidak “mengancam” anak. Kalau mau anak jujur, ya harus dimulai dari kejujuran orang tuanya.
Mama: Kalau nilainya bagus boleh beli mainan.
Dudu: Mama sedang menyogok aku ya?
Mama: Iya. Habis susah bener memotivasi kamu belajar dan dapat nilai bagus. Mama sogok aja biar berhasil.
Dudu: Kok Mama jujur sekali?
Mama: Ya, memang kenyataannya Mama sedang berusaha menyogok kamu kok.
Dudu: Mama ini memang orang tua aneh.

Asal jangan dilaporin KPK ya, Du.


By the way, hasil Google search menghasilkan dua liputan ini:


Fashion Show 101: Anak Laki-Laki Belajar Percaya Diri

$
0
0
Setelah sekian lama absen dari catwalk, Andrew kemarin kembali naik panggung di Jakarta Kids Fair 2016, membawakan koleksi dari Matahari Department Store diiringi nyanyian grup Di Atas Rata-Rata asuhan Gita dan Erwin Gutawa. 


 Lalu saya yan sedang berbangga hati ini dapat pertanyaan, “Mba, kok anaknya laki-laki ikut fashion show? Ngga takut, maaf yah Mba, jadi feminin?”

Hal tersebut sejujurnya pernah melintas di benak saya. Maklum, Andrew pertama naik panggung usia 2 tahun ketika acara final Parenting Cover Hunt. Sekarang, 8 tahun kemudian, dia kembali ikut naik panggung untuk acara yang diadakan oleh Ayahbunda dan Parenting Indonesia. Kembalilah rutinitas kita, datang pagi sebelum mall buka, gladi resik, di tengah mall yang sepi lalu make up di backstage dan akhirnya mulai peragaan busana. Tapi dalam rentang 6 tahun Andrew wara-wiri di catwalk, saya merasa lebih banyak hal yang bisa dipelajari daripada dikhawatirkan. Bayangkan saja, satu ketika, Andrew bisa gladi resik lalu ke sekolah dan pulang sekolah baru naik panggung. Dalam satu moment itu saja, dia belajar, disiplin dan konsistensi. Untuk yang masih ragu, coba disimak pengalaman kita berdua keliling mall belum buka dan apa yang bisa dipetik dari sana.
Fashion Show pertama Dudu waktu itu masih ditemani Mamanya
Audisi
Proses audisi fashion show beragam. Ada yang bisa lewat foto, ada yang harus audisi jalan juga. Ada juga yang audisinya berbentuk lomba modelling. Jadi, untuk yang mau mencoba masuk ke dunia ini, ada baiknya ikutan lomba dan mulai kenalan sama panitia dan agency yang biasanya ada di sana. Audisi ini penting, terutama yang pakai datang dan berjalan, soalnya anak jadi belajar berkompetisi, belajar gagal dan belajar untuk tidak menyerah.

Fitting
Biasanya kalau sudah terpilih, anak akan diminta fitting sebelum show. Fitting ini bisa sehari bisa seminggu sebelum acara. Di beberapa show, fittingnya bahkan di hari-H, diantara gladi resik (GR) dan show karena brand yang bersangkutan memiliki toko di mall tersebut. Di fitting ini, anak diajarkan untuk menghargai “barang pinjaman.” Belajar rapih juga karena setelah fitting kita wajib mengembalikan baju yang sudah dicoba ke panitia (fitter) untuk ditandai. Selain itu, pada saat fitting biasanya anak tidak bisa memilih baju jadi mereka akan belajar mengikhlaskan jika dress yang dipakai temannya lebih lucu dibandingkan yang dipakainya. Bukan cuma anak, biasanya para Mama juga suka “iri hati” melihat pemilihan baju.
GR di atas panggung
Biasanya ada briefing di backstage juga
Gladi Resik (GR)
Yang ini penting. Biasanya dilakukan pagi-pagi sebelum mall buka karena ya, kalau mall sudah buka kan ada pengunjung. Selain berantakan, kesannya kita menunjukkan bahan mentah pada (calon) penonton. GR ini penuh pengorbanan karena kita harus datang pagi, biasanya jam 7, dan harus cari tahu pintu mana yang sudah dibuka. Terkadang kita harus naik eskalator yang belum menyala atau terjebak di parkiran karena pintu masuk mall dari basement belum dibuka. GR mengajarkan disiplin. Selain tidak boleh kesiangan, GR juga dibatasi waktunya. Kalau acara seperti Jakarta Kids Festival kemarin, yang GR bukan hanya yang fashion show, tapi performers lainnya juga. Jadi anak harus serius agar tidak keseringan diulang dan menyebabkan keterlambatan. 

Baris di backstage menungu giliran naik panggung
Make Up dan Green Room
Fashion Show besar biasanya menyewa green room (area backstage extension tempat meyimpan baju dan model beristirahat) dan make up hair do dilakukan di sana. Untuk anak laki-laki biasanya Andrew hanya kena hairspray dan bedak. Make up ini biasanya menjadi tantangan sendiri buat Andrew yang paling sebal rambutnya diubah modelnya, dan paling stress kalau harus pakai bedak. Tapi seiiring dengan banyaknya fashion show yang dijalani, Andrew berhasil mengatasi ketidak nyamanan tersebut. Sekarang dia lebih cuek dengan penampilannya dan lebih tidak ambil pusing walaupun dandanan yang diminta klien ada di luar zona nyamannya.

The Show

Melepas anak naik panggung dan kita menonton sambil pegang kamera adalah PR terbesar saya. Saya selalu dan masih ragu-ragu apakah Andrew mampu melakukan catwalk dengan baik. Bagaimana jika dia lupa atau tidak melihat aba-aba show director/choreographer di depan panggung. Tapi kita sebagai penonton, jadi harus bisa percaya akan kemampuan anak. Show Matahari kemarin berkesan buat kita karena selain fashion show, para model diminta menari dan menyesuaikan diri dengan personil Di Atas Rata-Rata yang menyanyikan lagunya secara live. Uft, deg-deg-annya jadi double. The show must go on no matter what. Andrew pernah menangis karena kehilangan sepatunya di belakang panggung, tapi tetap maju dan memperagakan baju dengan step yang benar. Setelah turun panggung baru dia mencari sepatunya lagi. Dan saya kagum bahwa rasa “tanggung jawab” untuk memperagakan baju agak dilihat penonton bisa timbul pada anak usia 5 tahun.


Ke depannya bagaimana? Well, saya tidak akan melarang Andrew untuk fashion show. Selama anaknya menyanggupi, saya akan dukung. Meskipun identik dengan kegiatan perempuan, tapi fashion show, bila dijalani dengan benar meningkatkan percaya diri dan memberikan banyak manfaat anak. Selain yang sudah disebutkan di atas, mengikutkan Andrew di fashion show ini hitung-hitung emansipasi. Yah, semacam, kalau anak perempuan bisa naik pohon (saya), kenapa anak laki-laki tidak bisa naik panggung catwalk (Dudu).

Berpegang pada nasihat seorang teman yang koreografer, “seorang laki-laki, di atas catwalk juga tetap laki-laki. Jadi, berjalanlah seperti seorang laki-laki yang sedang memperagakan baju.”

Antara Ibu Bekerja dan Anak Mandiri

$
0
0
Resiko ibu bekerja seperti saya adalah terkaget-kaget ketika datang akhir pekan dan si anak memamerkan skill baru yang dipelari ketika hari kerja. Karena itu saya selalu berusaha meluangkan waktu untuk berkencan dengan Dudu, supaya tidak ketinggalan update dari anak yang tahu-tahu sudah mau 10 tahun dan bisa melakukan semuanya sendiri.

Dari kecil belajar pun sendiri
Kemarin, karena Dudu sakit (lagi), kita jadi tidak bisa kemana-mana. Akhirnya saya iseng melontarkan pertanyaan: “Menurut kamu, anak mandiri itu seperti apa?”

Dudu: Anak mandiri adalah anak yang bisa melakukan semuanya sendiri.
Mama: Misalnya?
Dudu: Misalnya mandi sendiri, makan sendiri. Cari uang sendiri bisa.
Mama: Anak jalanan yang minta-minta dan jualan tissue di lampu merah dong?
Dudu: Bukan.Bukan. Anak yang mandiri bisa membantu orang tuanya. Terus juga bisa tidak merepotkan orang tua.
Mama: Kamu anak mandiri bukan?
Dudu: Iya. Walau belum complete.
Mama: Yang masih kurang apa?
Dudu: Entahlah, aku cuma merasa kurang saja.

Mandiri itu bawa koper sendiri?
Nah, otak saya langsung berpikir, apa nih yang belum saya ajarkan kepada Dudu? Maklum sebagai ibu bekerja, saya sering melewatkan perkembangan anak saya. Toilet training, si Oma yang ajarkan. Makan dan mandi sendiri si Opa yang contohkan. Bermain game, si Om yang memulai. Pertama tidur sediri juga waktu menginap bersama nenek buyutnya, yang saya tidak tahu apa-apa kecuali pesan pendek dari si Opa yang bilang “Andrew menginap sama nenek buyut ya”. Bahkan si Dudu belajar masak sendiri entah dari mana. Katanya sih dari TV. Percaya diri dari fashion show, membereskan mainan dari Tante, berenang dari guru les, bahasa asing dari sekolah. Lalu, saya kebagian mengajarkan apa? Kebagian dibuatkan kopi tiap pagi sama si Dudu, meskipun pakai mesin otomatis. Kok saya seperti tidak berperan apa-apa dalam membentuk anak mandiri kecuali meninggalkan dia bekerja.

Karena saya sering kelewatan, termasuk saat dia pertama jalan dan yang lihat malah teman sekampus saya, si Dudu dengan besar hati mau mengulangi adegan “mandiri” itu. Sudah beberapa waktu dia bisa mandi sendiri, namun karena saya sedang sibuk, saya cuma dapat pemberitahuan sekilas info dari si Oma. Tapi ketika kita akhirnya bisa pergi liburan bersama, si Dudu langsung pamer, “Ma, lihat Ma!” sambil mengulang adegan mandi sendiri supaya saya bisa lihat. Duh terharu.

Padahal sebagai orang tua saya selalu berusaha mengajarkan sesuatu pada anak. Sayangnya saya orangnya tidak sabaran dan sering terlalu cuek. Tidak terhitung terjadi adegan semacam ini: “Aduh mengancingkan baju saja seabad lamanya, sudah sini Mama yang kancingkan.”Lalu seminggu kemudian di lokasi casting susu, Dudu mengancingkan kemejanya sendiri. Saya yang menyaksikan dari pinggir jadi heran. Yah, kok sudah bisa? Berarti kemarin seharusnya saya mendengarkan protesnya waktu saya dengan semangat menolong dia mengancingkan baju.

Sekarang anaknya sudah bisa menjahit kancing.
Belajar cari baca Crayon Sinchan
Tapi di lain pihak, karena saya cuek, saya juga jadi jarang melarang anak. Untungnya, Dudu termasuk anak yang tahu waktu dan disiplin (thanks to Opa), suka menolong (thanks to Oma) dan jarang mengeluh kalau waktu main game sudah harus digantikan dengan belajar. Jadi saya tidak perlu melarang dia pegang gadget pada saat weekdays, atau menonton TV di pagi hari sebelum sekolah karena kalau sudah jamnya mandi dia akan otomatis bergerak mengambil handuk. Saya semakin merasa tidak ada fungsinya.

Tahun kemarin kita berdua belajar sesuatu yang baru: mengatasi bullying. Jadi, ketika naik ke kelas 4 kemarin, ada teman sekelas Dudu yang senang memukul, mencubit, menginjak kaki, sampai membuang pensil dan penghapusnya keluar lewat jendela kelas. Karena saya bekerja, saya tidak bisa mencegat ibu si bully sepulang sekolah untuk mengadukan perbuatan anaknya seperti ibu-ibu yang lainnya. Apalagi menurut Dudu, anak itu tidak bisa diberi tahu lewat kata-kata. Jadi bagaimana dong? Akhirnya yang dilakukan Dudu adalah mendampingi saya saat pengambilan raport dan mengadukan sendiri kejadian tersebut ke wali kelasnya. Ternyata cukup efektif dan membuat saya senang karena saya sebagai Mama masih ada gunanya meskpun hanya duduk si sampingnya sambil senyam-senyum saat dia cerita.
Mama masih bisa ambil peran sebagai figuran kalau dia cosplay
Akhirnya saya memutuskan, mungkin peran saya dalam kemandirian anak bukan sebagai pengajar tapi sebagai pendengar. Soalnya menurut Dudu, “kalau Mama mengajar TK, anak muridnya bisa menangis semua karena mama akan marah-marah tidak sabaran.” Kencan mingguan kita masih berjalan sampai sekarang dan saya masih menggunakan kesempatan itu untuk update dengan kehidupan anak saya. Dudu masih menggunakan kesempatan itu untuk bercerita dan mengulang beberapa milestones yang saya lewatkan.

Lalu, seperti apa lagi yang bisa disebut anak mandiri, Du? “Anak mandiri itu membantu orang tuanya save money karena tidak perlu bayar babysister.” 

Oke deh.


Yuk ikutan Seminarnya. Daftar di sini ya.

Kebun, Cafe Idaman dan Jamu Kunyit Asam

$
0
0
Sebenarnya ini salah satu subyek favorit saya, soalnya saya suka penasaran. Tapi entah kenapa menulis tantangan hari kedua One Day One Post, yang menyinggung tanaman obat, apotik hidup, dan bumbu dapur di rumah, kok rasanya sulit benar. Mungkin karena saya tidak punya pengalaman pribadi dengan tanaman obat dan bumbu, kecuali yang sudah berbentuk minuman tradisional.

“Tidak, terima kasih.” Begitu kata Dudu setiap dia mendengar kata “jamu”. Meskipun di mata dia jamu tidak lebih parah dari kopi dan tidak lebih bau dari durian, tapi tetap saja bukan sesuatu yang layak minum. “Lebih baik minum jus wortel dicampur apel, Ma. Itu sudah banyak vitaminnya.”

Dudu yang hobi berkebun sedang panen jeruk.
Sekarang pohon ini sudah ditebang dan ditanam ulang.
Salah satu jamu yang suka saya minum kalau pas tersedia adalah kunyit asam. Dari namanya sudah tertebak kalau jamu ini isinya kunyit dan asam Jawa. Meski terdengar simple dan bahannya sering ditemukan di supermarket, saya belum pernah mencoba membuatnya sendiri sih. Dari hasil browsing, cara membuatnya cukup mudah. Bahan mentahnya (kunyit) cukup dipotong-potong dan diseduh dengan air. Hasilnya kemudian disaring dan dimasak bersama bahan lainnya seperti asam jawa, gula jawa dan lainnya.

Kalau menurut WebMD, zat curcumin yang terkandung dalam kunyit berguna untuk menurunkan kolestrol jahat, mengurangi rasa sakit berkepanjangan pada penderita osteoarthritis dan memperbaiki fungsi ginjal. Ada yang menggunakan kunyit untuk mengatasi asam lambung, diare, dan perut kembung. Sementara hasil ngobrol-ngobrol dengan mbok jamu di area makan pagi hotel dan penjual jamu di Jatim Park beberapa waktu lalu, katanya kunyit asam ini baik untuk yang mau diet. Efeknya mirip kopi ya, mengurangi rasa ingin ngemil.

Saya punya kebun di rumah. Atau tepatnya itu kebun Mama yang dipenuhi berbagai tanaman seperti ubi, pisang, nanas, papaya dan sebagainya. Mama bukan pencinta tanaman herbal atau apotik hidup jadi yang termasuk ke dalam kategori “bumbu dapur” hanyalah Pandan yang digunakan untuk masak nasi. Lalu Dudu diam-diam menambahkan kacang hijau ke dalam koleksi tanaman Mama. Mungkin habis ini saya bisa diam-diam menanam kunyit juga. Haha.

Kacang hijau Dudu
Kenapa mendadak jadi ngobrolin jamu? Saya pencinta kopi, bisa minum sampai 3 gelas sehari sampai lambung saya protes awal bulan Maret kemarin dan sekarang saya terpaksa berhenti mengaduk kopi tubruk. Bahkan dokter menyarankan saya untuk tidak minum teh dulu untuk beberapa waktu. Hal ini sempat membuat saya kebingungan karena saya tidak punya alternatif minuman lain. Saya juga jadi berhenti duduk di cafe karena minuman lain bikin kantong kempes dan badan melar haha. Karena itulah, saya sempat berharap ada cafe wi-fi modern yang menyediakan jamu sebagai alternatif minuman selain kopi dan teh.

Kebun kopi Luwak di Bali, ada tempat coffee tasting
yang juga sedia teh, jamu dan minuman herbal lainnya.
Terus ada juga kunyit asem pakai topping bubble. Haha, terus saja berkhayalnya mumpung masih siang.

Saudara itu Beda Bahasa, Mainnya Tetap Sama

$
0
0
Suatu hari, saya dapat whatsapp dari Papa, mengabari bahwa Andrew menginap di rumah tante saya karena saudara-saudara yang dari Jawa sedang datang liburan ke Jakarta. Lah, tumben. Biasanya anak ini rewel tidak bisa tidur kalau tidak ada saya. Ternyata kalau banyak teman jadi lain ceritanya.


Andrew anak tunggal. Saya single parent dan anak paling tua. Otomatis Andrew tidak punya sepupu dan tumbuh besar dikelilingi orang dewasa. Teman sebayanya hanya ada di sekolah. Tapi ternyata yang namanya teman dari pendidikan formal jaman sekarang lebih banyak dramanya daripada akrabnya. Plus, bersekolah di international school dengan jadwal super padat, membuat Andrew hampir tidak pernah main ke rumah teman sekolahya.


Sepupu kandung Andrew adanya di belahan dunia sebelah sana. Terakhir bertemu tatap muka ketika semuanya belum keluar dari usia batita dan Andrew waktu itu belum bisa Bahasa Inggris. Hebatnya mereka tetap bisa nyambung lewat surat dan lewat Facebook Mamanya. Saya masih berharap, suatu hari mereka bisa bertemu kembali dan bermain bersama lagi. 

Saudara sepupu tapi tidak mirip ya begini
Kesempatan bermain bersama teman sebaya baru hadir ketika berkumpul bersama keluarga besar, terutama dari pihak Papa. Papa saya punya 10 orang adik. Jadi diantara om, tante dan sepupu yang kalau foto tidak muat satu frame itu, ada beberapa yang sebaya Andrew. Karena kebanyakan saudara yang seumuran tinggalnya jauh, seringnya mereka berkumpul karena ada acara pernikahan atau merayakan ulang tahun nenek buyut. Tapi, sama dengan saudara di Amerika, yang ini pun ada kendala bahasa. Soalnya, sepupu-sepupu yang sebaya seringkali berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari dan membuat bingung Andrew yang bahasa Indonesianya baku.

Lalu mereka pakai bahasa apa? Saya pernah nguping Andrew dan para sepupunya ngobrol, dan guess what, mereka pakai bahasa Inggris. Canggih amat anak jaman sekarang ya. Sudah siap menghadapi MEA dong. Hahaha.

Jadilah setiap mereka datang, atau kita yang pulang kampung, liburan jadi berbeda. Tapi bukan hanya di Jakarta atau di kampung Papa, keseruan bersama saudara ini kami bawa sampai ke negara tetangga favorit kita berdua, Singapura. Suatu hari saya dan Dudu didaulat mengantar tante sekeluarga pergi perdana ke luar negeri. Waktu itu sempat ragu karena Andrew sudah lama tidak bertemu dengan sepupu saya yang ini. Apa mereka bisa akrab ya? Ternyata Andrew lebih senang pergi ke Singapura bersama sepupu-sepupu saya itu, dan bolak-balik bertanya kapan pergi bersama Koko, Cici dan Meimei lagi. Cerita selengkapnya tentang pergi ke Singapura dengan sepupu ini pernah saya tulis di blog juga.


Universal Studio lebih seru kalau sama-sama
Setiap berkumpul, selalu ada yang baru dipelajari Andrew dari saudara-saudaranya. Ketika ada pernikahan saudara yang membawa kita berkumpul menginap di satu hotel, maka Andrew akan menggunakan kesempatan itu untuk mengajak para saudara untuk berenang dan bermain petak umpet di lobby hotel. Tidak perlu waktu lama bagi anak-anak ini untuk akrab satu sama lain, walaupun ada yang sudah belasan tahun tidak bertemu. Kalau tidak ingat dengan salah satu saudara karena waktu pertama bertemu masih terlalu kecil, dengan mudahnya mereka kenalan lagi. Kalau biasanya di Jakarta dia bertemu TV dan gadget, di kampung dia bertemu ayam dan anjing peliharaan keluarga. Belum lagi ikut nongkrong di bengkel milik Om saya atau dibonceng sepeda motor keliling kota oleh sepupu saya. Kalaupun main gadget ya mainnya rame-rame. Masih ada interaksi.

Menunggu pemberkatan nikah sambil main
Terus lanjut malamnya kumpul di satu kamar
Mengutip kata sepupu saya, “mau bule mau jawa, anak-anak ya permainannya sama.” Masih main tembak-tembakan (walau kini dengan nerf gun), masih main skuter dan sepeda (walau di dalam rumah), dan yang tidak pernah ada matinya adalah petak umpet. Di mana pun, kapan pun, petak umpet selalu jadi andalan karena tidak memerlukan alat. Dan ketika jaman sekarang di TK sudah berlajar berhitung, saudara yang lebih kecil jadi bisa ikutan mencari. Tentunya, kalau main sama Dudu, yang kebagian mencari dimodifikasi jadi zombie. Yang pasti, setiap pulang dari menginap atau bermain bersama mereka, Andrew mendadak jadi medok. Termasuk waktu kita pergi ke Singapura bersama-sama itu.
"O’hana means family. Family means no one got left behind or forgotten." ~Lilo & Stitch
Viewing all 269 articles
Browse latest View live